BAB II RUMAH BELAJAR GANECHA DALAM MENINGKAT MINAT BELAJAR AGAMA ISLAM ANAK

Kamis, 13 Agustus 2009

BAB II

RUMAH BELAJAR GANECHA DALAM MENINGKAT MINAT BELAJAR AGAMA ISLAM ANAK


        1. RUMAH BELAJAR

1. Pengertian Rumah Belajar

Rumah Belajar adalah perpustakaan yang juga tempat belajar kegiatan yang menyediakan informasi dari koleksi dan juga kegiatanya.1 Secara fisik rumah belajar ganecha adalah tempat seperti halnya perpustakaan. Pada fungsi lebih lanjut rumah belajar dapt saaja berwujud jariangan sistem informasi seperti perpuskaan elektronik. Tetapi lebih dari itu rumah belajar juga terwujud kegiatan. Rumah belajar ibarat perpustakaaan hidup yang menyediakan informasi tidak hanya dari koleksi dan sistem jaringan yang di bangaun tetapi juga dari semua pengguna dan terutama dari aktivitas layanan yang di ciptakan.

Jika pendidikan memanggil manusia mmenjadi pribadi insemanusiawi yang semanusia mungkiin maka runah belajar ganecha memanggil siapa saja,kapan saja dan mana saja. Untuk memberi arti baru dari kata belajar yang tidak saja memasukan berbagai infornasi kedalam diri(outside in) teapi juga menjadikan apa yang ada dalam diri keluar menjadi tutur kata sikap,perilaku,ketrampilan, keahlian.

      1. Jenis-jenis Bimbingan Belajar

Bimbingan belajar diberikan guru kepada peserta didik agar memiliki kemampuan optimal dalam mengembangkan seluruh potensi dirinya. Bimbimgan dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek kemampuan dan minat peserta didik.

  1. Penyelenggaraan bimbingan belajar dilakukan berdasarkan perencanaan yang matang. Perencanaan bimbingan seyogyanya

merupakan hasil sharing dengan seluruh komponen pendukung sekolah dan berdasarkan analisa kebutuhan pembelajaran.

  1. Perencanaan bimbingan belajar ditekankan kepada upaya membiasakan berperilaku terpuji, kretif, memahami dunia kerja dan mengembangkan kemampuan dasar, dan membuat perencanaan serta matang dalam mengambil keputusan.

c. .Perencanaan bimbingan belajar ditujukan kepada penyiapan peserta didik untuk melanjutkann pendidikan tinggi atau memasuki lapangan kerja. Perlu pula direncanakan bimbingan yang diberikan kepada peserta didik selama mengikuti pelaksanaan program perbaikan dalam rangka mencapai kemampuan dasar yang tercantum dalam kurikulum nasional.


        1. MINAT BELAJAR AGAMA ISLAM

              1. Pengertian Minat Belajar Agama Islam

Minat dalam pengertian umum adalah “Sesuatu yang menimbulkan perhatian yang kuat Maksudnya segala sesuatu hal yang menimbulkan keinginan dan perhatian yang kuat dikatakan dengan minat atau kemauan. Minat terhadap sesuatu hal akan timbul apabila seseorang menaruh perhatian terhadap obyek itu. Perhatian ini dapat terjadi dengan sendirinya maupun karena pengaruh dari luar, terutama dari lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.Untuk membangkitkan minat ini diperlukan beberapa syarat, seperti: obyek itu harus menarik perhatian, baik karena warna yang kontras, bunyi, atau gerakannya. Di sekolah, seorang guru perlu menggunakan alat peraga atau model untuk menarik perhatian murid. Ini sekaligus untuk mengurangi proses abstraksi yang masih sulit bagi anak.2



Menumbuhkan minat belajar anak membutuhkan proses yang tidak instan. Pertama menumbuhkan terlebih dahulu rasa butuh akan manfaat suatu pelajaran. Misalnya ketika orangtua berharap anak memiliki kesadaran belajar Agama. Sebelum ditanya PR, perlu sesekali tanyakan ”adakah yang menarik di kelas...? siapa teman yang kamu sukai dan tidak sukai...? kenapa kamu menyukai atau tidak menyukai...? apa yang kamu lakukan pada mereka ? ada gak pelajaran yang membahas kerukunan? ”. Menurut kamu apa manfaatnya setelah belajar kerukunan ?.”

Kedua menjadikan anak sebagai partner belajar. Tidak selamanya orangtua harus selalu tampak pintar, adakalanya perlu sesekali kelihatan bodoh dan tidak tahu untuk memancing penjelasan anak. Hal ini bisa mendorong anak untuk lebih percaya diri dan mencari sebanyak mungkin informasi baik dari guru, buku bacaan maupun media elektronik yang tersedia.

Ketiga, Kunjungan edukasi keluarga. Tidak harus mahal dan menggunakan perijinan yang rumit.. Sesekali ajak anak ke pasar tradisional untuk melalukan transaksi jual beli. Karena selama ini jika ke Mall, belanja menjadi sangat individualis tanpa ada transaksi yang melibatkan emosi dan sosialisai. Datangkan langsung ke sumber-sumber kehidupan sehari-hari.misalnya peternakan sapi, kemudian dilanjutkan ke pabrik pembutan susu. Dia belajar proses proses produksi – distribusi sampai konsumsi. Dorong anak tidak selamanya menjadi konsumen tetapi perlu menjadi produsen. Hal ini akan mengurangi gaya hidup konsumtif dan meningkatkan nilai produktivitas SDM yang akan datang. . Misalnya membuat kertas daur ulang atau menyediakan bibit tanaman buah-buahan.

Keempat, menjadikan anak sebagai pelopor. Seringkali memulai kebaikan memang tidak mudah. Misalnya dalam global warming, di sekolah mereka sudah belajar teorinya. Tapi bagaimana anak juga juga menyelaraskan teori dengan aksi. Maka latihlah menjadi anak yang ”beda’. Jika kebanyakan anak berangkat diantar mobil, sepeda motor atau mobil angkutan. Maka latihlah sesekali menggunakan sepeda atau dengan jalan kaki jika jaraknya dekat. Selain sehat juga mengurangi polusi udara yang menimbulkan efek rumah kaca. Tidak hanya sendiri tapi orangtuapun memulai gerakan yang sama.

Keempat tahap diatas membutuhkan kerja sama serta komunikasi yang intensif antara sekolah dan rumah (orangtua). Keduanya memiliki hubungan yang komplementer (saling melengkapi) bukan saling menggantungkan. Guru atau sekolah tidak hanya menjadikan orang tua atau rumah sebagai kambing hitam ketidakmampuan dan kemalasan anak dalam belajar begitupun orangtua tidak menggantungngkan 100 % tercapainya tujuan pendidikan lewat sekolah3

Suatu minat dapat berkembang seiring dengan kebiasaan yang sering dilakuka, dimana kebiasaan dapat diartikan suatu sikap atau kegiatan yang bermanfaat fisik atau mental yang telah mendarah daging atau membudidaya dalam diri seseorang.4 Minat dan motifasi sangat menentukan terbentuknya suatu kebiasaan,akan tetapi memang memerlukan waktu yang lama.

Belajar merupakan perubahan tingkah laku, perubahan itu mangarah pada tingakah laku yang baik, yang terjadi melalui latihan atau pengalaman.5

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Drs.H. Nashar, M. Ag yang berjudul “Peranan Motivasi dan Kemampuan Awal dalam Kegiatan pembelajaran”,Kohman Abror berpendapt bahwa belajar yaitu: (1) menimbulkan perubahan yanga relatif tetap. (2) perubahan itu membedakan antara keadaan sebelum individu berada dalam situasi belajar dan sesudah diberlakukan belajar. (3) perubahan itu dilakukan lewat kegiatan, usaha atau praktek yang disengaja atau yang diperkuat.6

Agama Islam merupakan suatu sistem aqidah dan syariah serta akhlak yang mengatur hidup dan kehidupan dalam berbagai hubungan. Ruang lingkupnya lebih luas dari ruang lingkup agama nasrani yang hanya mengatur hubungan manusia dan Tuhan. Agama Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia denagan manusia dalam masyarakat termasuk dengan diri manusia itu sendiri tetapi juga dengan alam sekitarnya yang kini terkenal dengan lingkungan Islam.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat penulis simpulkan bahwa minat belajar agama islam adalah kemauan untuk merubah tingkah laku sesuai sistem aqidah serta ahlak yang mengatur hidup dan kehidupan dalam berbagai hubungan.

              1. Teori-teori Belajar Agama Islam Anak.

Ada beberapa strategi pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru Pendidikan Agama Islam dalam rangka mewujudkan proses pembelajaran yang actual seperti dimaksud, yaitu:

  1. Terpusat Pada Guru

Strategi pembelajaran yang terpusat pada guru adalah pembelajaran yang menempatkan guru sebagai pemberi informasi, Pembina dan pengarah satu-satunya dalam proses belajar mengajar. Model didasarkan pada konsep mengajar yang bersifat rasionalitas akademis yang menekankan segi pemberian pengetahuan semata-mata, dengan tidak melihat bahwa pengajaran juga harus mengandung maksud pembinaan dan pengembangan terhadap berbagai potensi yang dimiliki para siswa.

Sebagai akibat dari konsep mengajar yang demikian itu, maka seorang guru yang mengajar mencakupkan dirinya pada penguasaan bahan pelajaran semata-mata, tanpa harus mengetahui nilai-nila,I apa saja yang dapat disentuh oleh materi pelajaran yang akan diberikan kepada siswanya. Dalam keadaan yang demikian, yang terjadi pengajaran dan bukan pendidikan. Dari pengajaran yang demikian itu, dapat dihasilkan siswa-siswa yang cukup luas pengetahuannya, tetapi tidak cukup mantap kepribadiannya, dan kalau hal ini sempat terjadi, maka kita menghadapi situasi yang cukup gawat.

Akibat lanjut dari sistem pengajaran ini, akan mudah bagi seorang guru untuk terjebak kedalam perbuatan pamer pengetahuan, ketika ia berdiri di depan kelas. Ia sibuk sekali didepan kelas, tetapi tidak mendidik, tidak pula mengajar, tetapi asyik membeberkan pengetahuan yang dimilikimya dan asyik menikmati kekagumanyang diperlihatkan siswa-siswanya.

Selanjutnya, jika pamer pengetahuan tersebut terjadi tanpa sengaja, dan dampak yang ditimbulkannya hanya kekaguman siswa, maka hal yang demikian masih dapat dinilai wajar. Akan tetapi, apabila pamer pengetahuan ini sudah merupakan suatu perbuatan yang disengaja, secara pedagogis yang dihadapi adalah situasi yang tidak etis. Yang dijumpai dalam hal ini ialah guru yang menyalahgunakan kelemahan-kelemahan para siswa : kekurangan pengetahuan mereka, keterbatasan pengalaman hidup mereka dan ketidakberdayaan mereka dalam menghadap gurunya. Dampak yang akan timbul dari keadaan tersebut bukan kekaguman lagi kepada guru, melainkan kebingungan siswa tentang pelajaran yang diterima dan ketakutan siswa terhadap diri sang guru. Ironisnya adalah bahwa dalam masyarakat kita masih ada sekelompok guru atau dosen yang justru menikmati ketakutan dan kebingungan para siswa atau mahasiswanya. Jika keadaan ini sudah terjadi dengan sengaja, masalahnya bukan karena kesalahan pedagogis melainkan sikap tidak etis dan dosa pedagogis.

Model pengajaran yang demikian itu banyak terjadi pada Negara-negara berkembang, dan lebih khusus lagi pada masyarakat pedesaan yang belum tersentuh perkembangan dibidang informasi. Kita misalnya melihat bahwa dipedesaan masih terbatas sarana informasi yang memuat ilmu pengetahuan danb teknologi, seperti buku, majalah, surat kabar, dan sebagainya. Dalam keadaan yang demikian, sumber informasi sepenuhnya berada ditangan guru. Gurulah satu-satunya sumber informasi, dimana para siswa dan masyarakat sekitarnya amat bergantung kepadanya. Keadaan ini berbeda dengan masyarakat yang sudah maju seperti di perkotaaan dimana sumber informasi sudah banyak dkijumpai.

  1. Terpusat Pada Siswa.

Seiring dengan kemajuan yang terjadi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, konsep pembelajaran pun mengalami perubahan, yaitu dari yang semula berpusat pada guru, menjadi lebih berpusat pada siswa. Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM., yang berjudul “Manajeman Pembelajaran” Chauhan berpendapat bahwa Dalam hubungan ini, seorang pakar pendidikan mengatakan bahwa mengajar adalah “upaya dalam memberikan perangsang (stimulasi), bimbingan dan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar” (Chauhan, 1979:46).7 Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM., yang berjudul “Manajeman Pembelajaran” Burton berpendapat bahwa Pandangan ini sejalan dengan pendapat Gagne dan Briggs yang mengatakan bahwa is a set of events which affect learness in such way that learning is facilitated. Yaitu menciptakan berbagai peluang yang berpengaruh terhadap proses belajar yang dengan sendirinya tercipta berbagai kebutuhan belajar “(Burton, 1944:72).8 Dengan demikian dalam mengajar yang penting bukan upaya guru menyampaikan bahan, melainkan bagaimana siswa dapat mempelajari bahan sesuai dengan tujuan. Dalam hal ini upaya penting yang harus dilakukan adalah menciptakan serangkaian peristiwa yang dapat mempengaruhi siswa belajar. Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM., yang berjudul “Manajeman Pembelajaran” Burton berpendapat bahwa “Peran guru mengalami pergeseran dari yang semula sebagai satu-satunya pemberi informasi, menjadi sebagai orang yang bertindak sebagai direcror and facilitator of learning, yakni pengarah dan pemberi fasilitas untuk terjadinya proses belajar. Sejalan dengan ini harus diakui akan kebenaran pernyataan bahwa pengajaran itu pada hakekatnya adalah suatu proses yang mengandung makna, bukan semata-mata proses yang mekanis”(Burton, 1944:72).9

Konsep belajar tersebut mengisyaratkan pentingnya siswa sebagai faktor dominant dalam merencanakan kegiatan belajar mengajar. Hal ini sebagai kebalikan dari metode pembelajaran yang terpusat pada guru sebagaimana disebutkan diatas.

  1. Terpusat Pada Guru dan Siswa.

Jika pada strategi pertama kegiatan belajar mengajar didominasi oleh guru, dan strategi, dan strategi yang kedua kegiatan belajar mengajar oleh siswa, maka pada strategi yang ketiga kegiatan belajar mengajar tidak terpusat pada salah satu dari keduanya, tetapi terjadi interaksi antara guru dan siswa secara bersama-sama. Dalam kaitan ini belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbale balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan timbale balik antara guru dan siswa tersebut merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar mengajar. Interaksi dalam peristiwa belajar mengajar mempunyai arti yang lebih luas, yaitu tidak hanya sekedar hubungan antara guru dengan siswa, tetapi berupa interaksi edukatif. Dalam hubungan ini tugas seorang guru bukan hanya menyampaikan pesan berupa materi pelajaran, melainkan pemahaman sikap dan nilai pada diri siswa yang sedang belajar.

Sejalan dengan uraian tersebut maka proses belajar mengajar mempunyai makna dan pengertian yang lebih luas daripada pengertian mengajar dalam arti memberikan bekal pengetahuan semata-mata. Dalam proses belajar mengajar, tersirat adanya satu kesatuan kegiatan yang tak terpisahkan antara siswa yang belajar dengan guru yang mengajar. Antara dua kegiatan ini terjalin interaksi yang saling menunjang.

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM., yang berjudul “Manajeman Pembelajaran” Burton berpendapat bahwa “Peranan guru yang terpenting adalah menciptakan serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan, dan dilakukan dalam situasi tertentu, serta berhubungan dengan kemajuan dalam bidang perubahan tingkah laku dan perkembangan siswa yang menjadi tujuannya”(Burton, 1944:56).10

Dengan demikian dalam proses interaksi belajar mengajar itu target yang ingin dicapai bukan hanya pengajaran, melainkan juga pendidikan secara sekaligus. Untuk itu seorang guru harus tahu nilai-nilai apa yang dapat disentuh oleh materi pelajaran yang akan diberikan kepada siswanya. Guru harus tahu sifat-sifat kepribadian apa yang dapat dirangsang pertumbuhannya melalui materi pelajaran yang akan disajikan. Misalnya dapatkah suatu gugus materi pelajaran matematika dipergunakan untuk merangsang pertumbuhan nilai-nilai kejujuran, ketelitian, dan keuletan kerja pada diri para siswa.

Pertanyaan semacam itulah yang seharusnya dipikirkan oleh seorang guru yang ingin meningkatkan perbuatan mengajar yang dilakukannya menjadi perbuatan mendidik. Ini bukan suatu hal yang mudah. Inilah sebabnya mengapa banyak guru yang tidak selalu berhasil meningkatkan diri mereka menjadi pendidik. Mereka terpaku pada aspek-aspek pengajaran dalam m,elaksanakan tugas mereka sehari-hari. Ini tidak berarti pula bahwa pekerjaan mengajar itu mudah. Untuk mengajar dengan baik, diperlukan sikap tertentu, yaitu sikap gemar mencari pengetahuan baru dan senang berbagi pengetahuan dengan orang lain. Orang yang sudah merasa puas dengan pengetahuan yang telah dimilikinya tidak akan dapat menjadi pengajar yang baik.

Disamping masalah sikap ini, diperlukan pula ketrampilan dan kemampuan tertentu untuk mejadi pengajar yang baik. Antara lain ketrampilan untuk menyajikan suatu bahan pelajaran secara sistematik, kemampuan untuk memahami dan menyelami alam pikiran para siswa, dan kemampuan untuk meramu bahan pelajaran, sehingga tersusun suatu program pelajaran yang relecan dengan realitas yang terdapat dalam kehidupan para siswa. Memupuk sikap, ketrampilan serta kemampuan seperti ini memerlukan iktiar dan waktu.

  1. Strategi mana yang harus digunakan

Ketiga macam strategi pembelajaran sebagaimana disebutkan diatas dapat digunakan sesuai dengan lingkungan sosial dimana kegiatan pengajaran itu dilakukan. Bagi masyarakat agraris yang serba kurang informasi kecenderungan untuk menerapkan model pembelajaran yang terpusat pada guru tampak cukup dominant, sebagaimana hal yang demikian itu masih dapat dijumpai pada berbagai daerah dipedesaan di Indonesia. Selanjutnya, bagi masyarakat modern yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dengan pola hidup yang cenderung liberal, tampaknya metode pembelajaran yang memusat pada murid cukup dominant. Mata pelajaran atau program studi yang akan dipelajari ditentukan oleh kemauan dan pesanan para murid. Sementara pada masyarakat yang masih dalam keadaan transisi antara dua kebudayaan tersebut, yaitu antara kebudayaan agraris dan kebudayaan modern, pembelajaran yang memadukan antara kehendak guru dan murid tampaknya merupakan alternative yang pas.

Selanjutnya, perlu dicatat bahwa penentuan pilihan pada salah satu strategi pembelajaran tersebut, selain berimplikasi pada konsep belajar mengajar sebagaimana disebutkan diatas, juga akan memberikan implikasi pada seluruh aspek pendidikan, mulai dari perumusan tujuan pendidikan, kurikulum, materi pendidikan, metode dan pendekatan, sarana prasarana, lingkungan pendidikan, evaluasi dan sebagainya.

Pada strategi pembelajaran yang memusat pada guru misalnya, seluruh aspek pendidikan tersebut ditentukan oleh guru. Dengan demikian, gurulah yang menetukan tujuan pendidikan yang ingin dicapai; kurikulum atau mata-mata kuliah yang akan diberikan; materi pelajaran yang diajarkan; metode dan pendekatan dalam mengajar yang akan digunakan; sarana prasarana yang akan diperlukan; lingkungan pendidikan yang dibutuhkan serta model evaluasi yang ingin ditempuh. Dalam keadaan demikian murud tidak dijadikan factor dalam merumuskan metode pembelajaran yang akan diterapkan, tetapi hanya dijadikan objek atau sasaran dari kehendak guru. Beruntung jika segala sesuatu yang dirancang oleh guru itu merupakan halhal yang akan mendatangkan manfaat bagi murid. Namun, alangkah ruginya para murid jika apa yang didapatnya dari pengajaran yang diberikan guru itu adalah sesuatu yang tidak lagi diperlukan oleh masyarakat. Dalam keadaan yang demikian, guru atau lembaga pendidikan harus bertanggung jawab atas nasib kehidupan para lulusannya; karena guru atau lembaga pendidikan tersebut telah menghasilkan lulusan yang bermasalah. Implikasi dari metode pembelajaran yang berpusat pada guru atau lembaga pendidikan semacam ini masih banyak dijumpai pada masyarakat Indonesia, khususnya di pedesaan mengngingat para siswa atau masyarakat berada dalam posisi yang lemah dalam menentukan atau ikut serta merancang pendidikan yang diberikan kepadanya.

Untuk melengkapi pengertian mengenai makna belajar, perlu kiranya dikemukakan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan belajar siswa. dalam hal ini ada beberapa prinsip yang penting untuk diketahui, antara lain :

  1. Belajar pada hakekatnya menyangkut potensi manusiawi dan kelakuannya.

  2. Belajar memerlukan proses dan pemantapan serta kematangan diri siswa.

  3. Belajar akan lebih mantap dan efektif, bila didorong dengan motivasi, terutama motivasi dari dalam atas dasar kebutuhan atau kesadaran (instrinsic motivation), lain halnya belajar dengan karena rasa takut atau dibarengi dengan rasa tertekan dan menderita.

  4. Dalam banyak hal belajar itu merupakan proses percobaan (dengan kemungkinan berbuat keliru) dan conditioning atau pembiasan.

  5. Kemambuan belajar seseorang siswa harus diperhitungkan dalam rangka menentukan isi pelajaran.

  6. Belajar dapat melakukan tiga cara :

  1. Diajar secara langsung.

  2. Kontrol, kontak, penghayatan, pengalaman langsung (seperti anak belajar bicara, sopan santun, dan lain-lain)

  3. Pengenalan dan/atau peniruan.

  1. Belajar melalui praktek atau mengalami secara langsung aakn lebih efektif mampu membina sikap, keterampilan, cara berfikir kritis dan lain-lain, bila dibandingkan dengan belajar hafalan saja.

  2. Perkembangan pengalaman anak didik akan banyak mempengaruhi kemampuan belajar yang bersangkutan.

  3. Bahan pelajaran yang bermakna atau berarti, lebih mudah dan menarik untuk dipelajari, daripada bahan yang kurang bermakna.

  4. Informasi tentang kelakuan baik, pengetahun, kesalahan serta keberhasilan siswa, banyak membantu kelancaran dan gairah belajar.

  5. Belajar sedapat mungkin diubah ke dalam bentuk aneka ragam tugas, sehingga anak-anak melakukan dialog dalam dirinya atau mengalaminya sendiri.11

              1. Tujuan Belajar Agama Islam dan fungsi belajar Pendidikan Agama Islam

Pendidikan Agama Islam bertujuan memberi bekal kemampuan dasar keadaan peserta didik meliputi:

    1. Memiliki dasar keimanan yang mantap

    2. Mengetahui ketentuan dasar beribadah.

    3. Gemar membaca dan menulis huruf Al-Quran.

    4. Melaksanakan puasa, infak dan sedekah

    5. Bertatakrama dan berperilaku terpuji

    6. Menghayati nilai-nilai keteladanan para rosul dan sahabat.

Pendidikan Agama Islam, baik sebagai penanaman keimanan dan seterusnya maupun sebagai materi (bahan ajar) memiliki fungsi yang jelas.Fungsi Pendidikan Agama Islam adalah sebagai berikut :

    1. Pengembangan; yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Pada dasarnya dan pertama- tama menanamkan kuwajiban menanamkan keimanan dan ketaqwaan dilingkungan oleh setiap orang tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuhkembangkan lebih lanjut dalam diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan ketaqwaan tersebut dapat berkembangan secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.

    2. Penyaluran; yaitu untuk mernyalurkan peserta didik yang memiliki bakat khusus dibidang agama agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal sehingga dapat dimangfaatkan untuk dirinya sendiri dan dapat pula bermanfaat untuk orang lain.

    3. Perbaikan; yaitu untuk memperbaikai kesalahan- kesalahan, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan dalam keyakinan,pemahaman dan pengamalan ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari.

    4. Pencegahan; Yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari lingkungan peserta didik atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dan menghambat perkembangan dirinya menuju manusia Indonesia seutuhnya.

    5. Penyesuaian; yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik linkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran Islam.

    6. Sumber nilai; yaitu memberikan pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

    7. Pengajaran; yaitu untuk menyampaikan pengetahuan keagamaan yang fungsional.12

  1. Faktor Penghambat Minat Belajar Agama Islam

Tantangan dunia pendidikan pada umumnya bukanlah permasalahan yang berdiri sendiri, tetapi terkait baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perkembangan iptek dan aspek kehidupan yang lain, baik ekonomi, politik, maupun social budaya. Berbagai tantangan yang dihadapai dunia pendidikan pada umumnya juga harus dihadapi oleh pendidikan agama sebagai bagian dari pendidikan bangsa. Kalau dunia pendidikan di Indonesiaproses memerlukan berbagai inovasi agar tetap berfungsi optimal ditengah arus perubahan, maka pendidikan agama juga memerlukan berbagai upaya inovasi agar eksistensinya tetap bermakna bagi kehidupan bangsa.

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa, hambatan pendidikan agama yang begitu kompleks pada dasarnya dapat dikelompokkan kedalam dua macam, yaitu hambatan internal dan eksternal. Hambatan internal menyangkut sisi pendidikan agama sebagai program pendidikan baik dari segi pemahaman terhadap materi Pendidikan Agama Islam, perancangan, maupun pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan agama Islam itu sendiri. Hambatan eksternal berupa hubungan kemajuan iptek, era globalisasi dibidang informasi, perubahan sosial ekonomi dan budaya dengan segala dampaknya. Problem yang merupakan konsekuensi logis dari perkembangan iptek yang menuju proses globalisasi dan derasnya arus informasi, menyebabkan permasalahan yang sangat kompleks, tidak terkecuali pendidikan agama. Sebab proses ini nyatanya lebih mementingkan materi dan mengesampingkan agama.

Berbagai macam tantangan Pendidikan Agama Islam tersebut sebenarnya dihadapi oleh semua pihak, baik keluarga, pemerintah , maupun masyarakat, baik yang terkait langsung ataupun tidak langsung dengan kegiatan pendidikan agama Islam. Namun demikian, guru Pendidikan Agama Islam di sekolah yang terkait langsung dengan pelaksanaan pendidikan Islam dituntut untuk mampu menjawab dan mengantisipasi berbagai tantangan tersebut. Untuk mkengantisipasinya, diperlukan adanya profil guru Pendidikan Agama Islam di sekolah yang mampu menampilkan sosok kualitas personal atau professional dalam menjalankan tugasnya. Dengan ini diharapkan performance dia dalam membelajarkan pendidikan agama Islam betul-betul dapat dipertanggung jawabkan, baik secara intelektual, moral, maupun spiritual, sehingga kepribadian dia dapat menjadi kurikulum tersembunyi bagi siswa.

  1. Tantangan Internal

Sebagaimana uraian terdahulu, bahwa selama ini terdapat berbagai kritik dan sekaligus solusi terhadap pelaksanaan pendidikan agama yang sedang berlangsung di sekolah. Secara konseptual-teoritis, kritik dan solusi tesebut telah dijadikan pertimbangan dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama di sekolah. Untuk itu, dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK) salah satu rekomendasinya dinyatakan bahwa, pendidikan agama harus dilaksanakan secara terpadu, yakni keterpaduan pembinaan antara tiga lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, serta keterpaduan antara pendidikan agama dengan perkembangan iptek. Karena itu, pelaksanaan Pendidikan Agama Islam disekolah harus mampu memenuhi tuntutan tersebut. Di samping itu, Andi Rasdinah mengemukakan beberapa kelemahan lainnya dari pendidikan agama islam di sekolah, bik dalam pemahaman materi Pendidikan agama Islam maupun dalam pelaksanaannya, yaitu:

1). Dalam bidang teologi, ada kecenderungan mengarah kepada faham fatalistik.

2). Bidang akhlak berorientasi pada urusan sopan santun dan belum difahami sebagai ikeseluruhan pribadi manusia beragama.

3). Bidang ibadah diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan kepribadian.

4). Dalam bidang hukum (fiqih) cenderung dipelajari sebagai tata aturan yang tidak akan berubah sepanjang masa, dan kurang memahami dinamika dan jiwa hukum Islam.

5). Agama Islam cenderung diajarkan sebagai dogma dan kurang mengembangkan rasionalitas serta kecintaan pada ilmu pengetahuan.

6). Orientasi mempelajari Al-Quran masih cenderung kepada kemampuan membaca teks, belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna.

Towaf juga mengamati adanya kelemahan-kelemahan Pendidikan Agama Islam di sekolah, antara lain:

1). Pendekatan masih cenderung normative, dalam arti pendidikan agama menyajikan norma-norma yang sering kali tanpa ilustrasi konteks social budaya, sehingga siswa kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian.

2). Kurikulum pendidikan agama Islam yang dirancang disekolah sebenarnya lebih menawarkan minimum kompetensi atau minimum informasi, tetapi pihak guru Pendidikan Agama Islam seringkali terpaku padanya, sehingga semangat untuk memperkaya kurikulum dengan pengalaman belajar yang bervariasi kurang tumbuh.

3). Sebagai dampak yang menyertai situasi diatas, maka guru Pendidikan Agama Islam kurang berupaya menggali berbagi metode yang mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agama, sehingga pelaksanaan pembelajaran cenderung monoton.

4). Keterbatasan sarana atau prasarana, sehingga pengelolaan cenderung seadanya. Pendidikan agama yang diklaim sebagai aspek yang penting seringkali kurang diberi prioritas dalam urusan fasilitas.

Tantangan Pendidikan Agama Islam juga terkait dengan tantangan dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya, terutama dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia itu, yaitu:

1). Era kompetitif yang disebabkan oleh meningkatnya standar dunia kerja.

2). Jika kualitas pendidikan menurun, maka kualitas sumber daya manusia juga menurun dan lemah pula dalam hal keimanan dan ketaqwaan serta penguasaan iptek.

3). Kemajuan teknologi informasi menyebabkan banjirnya informasi yang tidak terakses dengan baik oleh para guru dan pada gilirannya berpengaruh pada hasil pendidikan.

4). Dunia pendidikan tertinggal dalam hal metodologi.

5). Kesenjangan antara kualitas pendidikan dengan kenyataan empiric perkembangan masyarakat.

b. Tantangan Eksternal (global)

Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa awal perkembangan sains modern (sekitar abad 16/17 M) pernah terjadi perpecahan antara kaum agamawan dan ilmuan, yang ditandai dengan sikap keras kaum agamawan Eropa (penganut geosentris) kepada penganut faham heliosentris, seperti Copernicus, Bruno, Kepler, Galileo, dan lain-lainnya. Metodologi yang dikembangkan oleh mereka mengandalkan kemampuan inderawi (empiris), sehingga kajian-kajian keagamaan yang bersifat non-inderawi dianggap tidak ilmiah.

Pengalaman sejarah juga menunjukkan bahwa di Negara yang sudah memasuki era industri, dimana masyarakatnya sangat mendambakan rasionalitas , efisiensi, teknikalitas, individualitas, mekanistis, materialistis, ternyata semua yang berbau sacred (suci) nyaris tidak mendapat tempat pada masyarakat itu. Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD” Ellul (1964) telah mengidentifikasi lima alasan sosiologis berdasarkan tradsi Nasrani, tentang mengapa orang semakin sedikit dan ogah dalam menjalankan nilai-nilai agama. Kelima alas an itu adalah:

1). Sekularisasi.

2). Iklim penalaran dan skeptisisme.

3). Ketidakpraktisan sembahyang.

4). Kerancuan sembahyang dan moralitas.

5). Keterbatasan bahasa atau berberlit-belitnya bahasa sembahyang.13

Namun demikian, kalau kita mengamati fenomena yang terjadi pada akhir abad 20 (di mana kemajuan iptek sudah begitu maju pesat), ternyata justru terhjadi sebaliknya. Dalam arti terjadi hubungan yang harmonis antara ilmuan dan agamawan. Temuan-temuan dalam bidang iptek yang kasat mata membuat ilmuan percaya pada banyak hal yang tidak terjangkau oleh indera. Hal ini muncul terutama ketika disadari bahwa isi dalam alam semesta ini terdiri atas atom-atom yang dapat diteliti lagi menjadi sub-sub atom. Karena itu, para ilmuan terperangah bahwa banyak hal yang harus dipercaya “ada”nya tanpa harus ditangkap oleh indera, termasuk electron, cahaya, gelombang radio, dan sebagainya. Di Indonesia, perpecahan antara ilmuan dan agamawan ternyata tak tercatat dalam sejarah perkembangan iptek, mlahan himbauan agar ilmuan dan agamawan saling mendukung sangat terdengar gemanya di Indonesia. Misalnya Baiquni mengatakan bahwa iptek terus menerus memerlukan bantuan agama; dan Mangunwajiwa juga mengajak kita untuk menarik hikmah dari Galileo-Galilei.

Munculnya ICMI juga merupakan kasus yang menarik untuk mengharmonoskan hubungan antara ilmuan dan agamawan. Oleh karena itu, pengalaman sejarah dari Negara industri tersebut setidak-tidaknya akan sulit muncul di Indonesia, bilamana benar-benar tercipta keserasian antara ilmu pengetahuan dan agama.

Dalam arti keyakinan beragama (sebagai hasil dari pendidikan agama) diharapkan mampu memperkuat upaya penguasaan dan pengembangan iptek, dan sebaliknya pengembangan iptek memperkuat keyakinan beragama. Ilmu pengetahuan berbicara know what dan know why, dan teknologi berbicara know how. Sedangkan agamalah yang bisa menuntun manusia untuk memilih mana yang patut, bis, benar dan baik dikembangkan dan dijalankan. Di sinilah letak peranan pendidikan agama (Islam) dan sekaligus pendidiknya (Guru Pendidikan Agama Islam di sekolah) dalam mengantisipasi perkembangan kemajuan iptek. Dalam arti, mampukah guru Pendidikan Agama Islam menegakkan landasan, yang menjadi tiang utama ajaran agama, tatkala domonasi temuan iptek sudah demikian hebat dan menguasai segala perbuatan dan pikiran umat mausia.

Temuan iptek telah menyebarkan hasil yang membawa kemajuan, dan dampaknya terasa bagi kehidupan seluruh umat manusia. Semua hasil temuan Iptek disatu sisi harus di akui telah secara nyata mempengaruhi bahkan memperbaiki taraf dan mutu hidup manusia. Di sisi lain produk temuan dan kemajuan iptek itu telah mempengaruhi bangunan kebudayaan dan gaya hidup manusia.

Dalam era kemajuan iptek ini perubahan global semakin cepat terjadi dengan adanya kemajuan-kemajuan dari Negara maju di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Kemajuan iptek ini mendorong semakin lajunya proses globalisasi. Teknologi komputer misalnya, membanjiri setiap negara, bangsa dan budaya tanpa mengenal batas bangsa, negara dan budaya. Faksimili adalah teknologicetak jarak jauh yang dapat mengirimkan pesan untuk sispapun, di manapun, Negara manapun, dan bangsa apapun, serta bisnis dan institusi apapun. Faksimili adalah teknologi global yang membantu terciptanya globalisasi dalam pengiriman pesan dalam waktu yang cepat dan akurat. Televisi dengan antenna parabola merupakan media global yang mendorong terciptanya globalisasi penyiaran berita, budaya dan sebagainya secara interansional yang tidak mengenal batas ruang dan waktu.

Kenyataan semacam itu akan mempengaruhi nilai, sikap dan tingkah laku kehidupan individu dan masyarakatnya. Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD “Hasil studi yang dilakukan oleh Inkeles dan Smith (1974) dalam Muhaimin (1999) “di enam Negara sedang berkembang (Argentina, Bangladesh, Chili, India, Israel dan Nigeria) serta pernyataan Naissbit dan Aburdene dalam Megatrends 2000, sebagaimana dikemukakan terdahulu menunjukkan bahwa ada beberapa nilai, sikap dan tingkah laku individu dan masyarakat modern yang kongruen (sejalan) dengan ajaran Islam sekaligus tidak mendukung keberhasilan pembangunan. Ada pula nilai dan sikap modernitas yang tidak kongruen (berlawanan) dengan ajaran agama Islam sekaligus tidak mendukung keberhasilan pembangunan. Misalnya: lemahnya keyakinan keagamaan, sikap individualistis, materialistis, hedonistis dan sebagainya. Nilai-nilai dan sikap yang negatif itu akan muncul bersamaan dengan nilai dan sikap positif lainnya, yang sudah barang tentu merupakan ancaman bagi terwujudnya cita-cita pembangunan bangsa. Karena itu masalah yang perlu segera mendapat jawaban, terutama dari guru Pendidikan Agama Islam adalah “mampukah” kegiatan pendidikan agama (Islam) itu berdialog dan berinteraksi dengan perkembangan zaman modern yang ditandai dengan kemajuan iptek dan informasi, dan mampukah mengatasi dampak negatif dari kemajuan tersebut.”14

c. Hambatan Psikologis

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD “ Menurut Arifin (1993) kemajuan iptek yang amat mengandalkan kecerdasan rasio, sampai batas-batas tertentu dapat mengoreksi benteng-benteng nilai agama. Berbagi akibat yang muncul kepermukaan antara lain ialah nilai-nilai kehidupan umat manusia lebih banyak didasarkan pada nilai kegunaan, kelimpahan hidup materialistic, sekularistik, dan hdonistik yang menafikan nilai-nilai etika-religius, moralitas dan humanistis.15

Akibat dari hal tersebut, muncullah berbagai ragam gejala demokrasi, dekadensi, egoisme dan individualisme serta apatisme yang bersumber pada frustasi yang semakin membengkak, juga stress-sosial (ketegangan batin masyarakat) yang semakin menumpuk menumpuk dalam lapisan jiwa bawah sadar yang sewaktu-waktu dapat meletup dan meledak kepermukaan kehidupan masyarakat. Apalagi jika kekuatan atau daya pengendali mental-psikologis mereka tidak dapat bekerja dengan baik dalam setiap kelompok masyarakat itu.

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD “ Arifin mengatakan bahwa bila dilihat dari segi psikologis merupakan akibat terjangkitnya benih-benih penyakit mental yang sangat rentan terhadap timbulnya apa yang disebut teufel-kreis (lingkaran setan) yang sulit untuk di atasi (Arifin, 1993).16 Lingkaran setan inilah yang menjadi sumber pokokdari hambatan dan tantangan pendidikan dan pembelajaran agama kepada masyarakat.

Prinsipnya yang paling fundamental adalah antara kesenjangan hidup berkat dampak kemajuan iptek dengan tuntutan kebutuhan hidup harus dijembatani atau dipersempit rentangnya dengan penanaman nilai-nilai agama yang mendasari kekuatan sikap mental dan moral-spiritual perilaku lahiriah manusia secara individu sebagai anggota masyarakat. Nilai-nilai agama sebagai kekuatan mental dan moral-spiritual pribadi tersebut akan menjadi daya tangkal masyarakat terhadap segenap ronrongan infiltrasi dari dampak negatif kemajuan iptek modern yang semakin canggih.

Itulah sebabnya agama beserta nilai-nilai yang dikandungnya diwahyukan oleh Tuhan kepada Rosul-Nya untuk merubah pandangan dan perilaku hidup manusia yang menyimpang dari garis-garis normatif-religius kepada jalan yang lurus yang diridhoi-Nya. Perubahan dan pandangan perilaku ini menjadi sumber kekuatan mental-spiritual untuk membebaskan diri dari tekanan psikologis sebagai akibat dari perubahan pola hidup masyarakat.

Untuk itu, kehidupan yang paling ideal pada era masyarakat madani sekarang ini dan mungkin yang akan datang adalah apabila kekuatan iman dan taqwa sebagai buah dari pendidikan dan pembelajaran agama mampu menjadi pengendali, penyeleksi dan penyaring segala unsure kemajuan iptek yang secara intrinsic bersifat merusak mental dan moral-spiritual masyarakat. Dengan kehidupan yang demikian, induvidu dan masyarakat akan menemukan kehidupan yang sebenarnya atau kehidupan sejati yang selalu disinari oleh Nur Illahi.



d. Hambatan Sosial-Politik

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD “ Arifin mengatakan bahwa Dalam proses perubahan social-politik di Negara kita ini dapat kita lihat peristiwa-peristiwa yang anti social, sadisme, anarkhisme dan tindakan lain yang tidak berperikemanusiaan yang sama sekali bertentangan dan tidak mencerminkan nilai-nilai agama. Sasaran utama dari proses letupan perasaan frustasi yang telah mencapai tingkat “tinggi” ini adalah kelompok-kelompok kekuatan yang bertanggung jawab atas ketertindasan harkat dan martabat hidup mereka yaitu perangkat pengausa pemerintahan mereka sendiri, dimana kelompok yang membantu kekuatan tirani komunitas mereka menjadi sasaran (Arifin, 1993).17

Terhadap munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang berekonomi kuat, penyakit mental yang berupa stres dan frustasi social itu menimbulkan sikap negative masyarakat yang lemah ekonominya, yaitu berupa kecemburuan sosial pada tahap awal perkembangannya, dan akan berlanjut kepada tahap ledakan sosial-politik yang tidak terkendali oleh kekuatan moral dan etik sebagai titik klimaksnya. Peristiwa tragis semacam ini akan dapat diredam, apabila sistem social-politik dalam masyarakat dapat direlisasikan dengan sebaik-baiknya berdasarkan keadilan sosial yang memberikan kesejahteraan dan kemakmuran merata dalam segenap lapisan masyarakat.

Kondisi tersebut, apabila dicermati secara seksama dapat mengakibatkan pendidikan dan pembelajaran agama tidak bisa berjalan secara optimal. Hal ini disebabkan perbedaan kepentingan social-politik individu atau kelompok, yang kepentingan itu dapat mengalahkan kepentingan yang lebih besar dalam menciptakan kehidupan yang damai dan aman, sehingga nilai-nilai agama terabaikan. Sebab lainnya adalah beragamnya etnis, rasial, dan keagamaan yang berakibat tidak dapat ditemukan dan dikembangngkan nilai-nilai agama yang universal, yang merupakan nilai bersama, kendati perbedaan latar belakang keagamaan atau perbedaan adapt-istiadat karena latar belakang rasial atau etnis. Ini bukan masalah yang mudah. Tetapi, pendidikan agama merupakan proses belajar terus menerus bagi semua orang dan semua golongan.

Pemikiran tersebut menunjukkan bahwa, perubahan kondisi social-politik yang dipicu oleh perkembanganilmu dan teknologi yang pesat, membawa serta perubahan dalam cara berfikir, cara menilai, cara menghargai hidup dan kenyataan. Ini semua membawa kekaburan nilai-nilai agama yang ada dan kekaburan dimensi nilai yang sebenarnya selalu ada dalam proses perkembangan dan perubahan masyarakat, serta dalam pribadi individu. Oleh karena itu, semua pihak yang terlibat dalam pendidikan, khususnya guru, bertanggungjawab untuk:

1). Melihat implikasi nilai-nilai agama dalam setiap proses perubahan terjadi.

2). Membantu untuk berkembangnya nilai-nilai agama dalam diri individu siswa.

3). Membantu agar siswa dapat mengambil sikap dan keputusan dalam merencanakan kehidupan secara bermakna.

Apabila semua pihak yang terlibat dalam pendidikan, khususnya pendidikan agama dapat melaksanakan ketiga tahapan tersebut, maka tidak mustahil akan memberikan hasil yang optimal. Tetapi sebaliknya, apabila tidak melaksanakannya, maka pendidikan agama tidak mustahil akan terhambat oleh euforia persoalan social-politik yang pada akhirnya dapat berakibat runtuhnya martabat bangsa.

  1. Hambatan Kultural

Akibat kemajuan bidang teknologi informasi, elektronika dan komunikasi, berbagai permasalahan di dunia ini menjadi meng-global. Globalisasi menjadikan bumi makin menyempit. Berbagai masalah local mampu membawa dampak men-dunia. Norma dan etika dunia makin cepat menyebar, sehingga terjadi akulturasi nilai. Akulturasi nilai mengakibatkan hilangnya identitas nilai-nilai universal, sehingga nilai yang menjadi acuan semakin kabur sumbernya.

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD “ Di samping, itu menurut Mudhzar (1992) globalisasi juga mengakibatkan berkembangnya mass culture, karena pengaruh mass media, sehingga kultue tidak lagi bersifat local, melainkan nasional, bahkan global. Ini akan berakibat meningkatnya heterogenitas nilai dalam masyarakat, sehingga nilai agama yang diyakini seseorang tidak lagi mampu mengklaim sebagi sumber kebenaran tunggal pada diri individu18. Selain nilai-nilai agama yang dipelukkya, individumerasa perlu melengkapi dirinya dengan nilai-nilai lain yang datang dari sekitarnya, baik dari kesepakatan politik, ekonomi, maupun budaya. Kehadiran sejumlah nilai dari sumber yang berbeda secara bersandingan ini akan menimbulkan beberapa persoalan, terutama dalam memilih nilai-nilai tersebut. Apakah nilai-nilai agama yang harus dimenangkan dan nilai-nilai yang lain dikesampingkan? Kondisi demikian sering menjadi persoalan yang serius.

Realitas ini sangat tidak menguntungkan dalam pendidikan agama. Karena nilai-nilai agama yang bersifat universal yang seharusnya menjadi prioritas untuk pedoman bertindak, kadang disandingkan dengan nilai-nilai lain yang bersifat local. Hal ini disebabkan orang tidak lagi melacak dari mana sumber nilai itu, tetapai yang penting adalah lebih cocok dan menguntungkan bagi dirinya, sehiingga tidak ada upaya pemilihan nilai.

Pemilihan nilai berarti menentukan suatu nilai sesudah mempertimbangkan semua akibat-akibat dari setiap alternative yang ada. Individu yang tidak mengetahui akibat suatu alternative, berarti pula tidak mengetahui akibat yang akan terjadi nantinya, dan dia tidak akan bebasmenerima akibatnya. Misalnya, seseorang menggunakan narkoba, yang katanya bagi mereka yang memakai dapat menghilangkan stres dan seakan melayang ke “surga”, ternyata resikonya secara moral dan material sangat tinggi, berupa pemborosan uang dan sakit fisik secara mental. Apabila dia berpegang pada nilai-nilai agama, yang jelas-jelas melarangnya, maka dia akan selamat dari bahaya itu.

Kerap kali memang akibat pilihan seorang individu tidak dapat diketahui sebelumnya, tetapi bukan berarti bahwa tidak ada pilihan bebas. Begitu orang memahami akibat-akibatnya, dia harus mengevaluasi kembali berdasarkan kerangka normatif agama. Namun kadang-kadang seseorang sadar bahwa itu perbuatan salah, tetapi tetap saja dia lakukan tanpa harus mengevaluasi bahwa perbuatan itu salah berdasarkan nilai-nilai agama. Akibatnya, setelah kesalahannya menumpuk dan resikonya semakin parah, dia baru sadar bahwa perbuatan itu salah.

Untuk itu sesuatu yang harus dilakukan adalah dengan menanamkan nilai-nilai agama secara mantap kepada siswa atau individu, agar dia terhindar dari berbagai godaan dan gangguan cultural yang tidak menguntungkan, dilihat dari aspek moral dan spiritual. Penanaman itu harus dapat mem-pribadi kepada siswa, artinya dia betul-betul “memikirkan tentang suatu nilai-nilai agama, tidak sekedar menanggapi suatu nilai-nilai agama”. Sebab diantara dua term ini mempunyai makna yang berbeda. Memikirkan suatu nilai agama berarti individu sudah mulai memikirkan untuk membentuk atau menyiapkan suatu nilai untuk dilaksanakan, sedang menanggapi suatu nilai-nilai agama hanyalah “menanggapi” kalau suatu nilai dibicarakan orang, atau terdapat dalam satu karang, atau dengan kat lain, nilai-nilai agama hanya sekedar sebagai wacana. Dalam hal ini individu yang hanya menyatakan persetujuannya pada sesuatu yang sudah ditulis, diucapkan orang, sebenarnya memang sudah menuju ke arah pembetukan nilai, tetapi masih pada ambang pintu yang jauh sekali untuk mewujudkan nilai itu sendiri.

Pendidikan agam,a pada dasarnya bukan merupakan sesuatu yang harus diwacanakan, tetapi lebih merupakan sesuatu yang normatif-dogmatif-pragmatis, sehingga secara given harus dilaksanakan. Untuk itu, nilai-nilai agama memang sudah seharusnya diterapkan dalam realitas sosial, tidak harus terhambat oleh berbagai tantangan dan hambatan kultural yang menghinggapi kehidupan kita.19

  1. Cara atau Kiat untuk mengembangkan Minat Belajar Agama Islam Anak

Adapun beberapa upaya Meningkatkan minat belajar diantaranya adalah sebagai berikut:

          1. Optimalisasi Penerapan Prinsip Belajar

Upaya pembelajaran terkait dengan beberapa prinsip belajar :

  1. Belajar menjadi bermakna bila siswa memahami tujuan belajar. Oleh karena itu guru perlu menjelaskan tujuan belajar secara hierarkis.

  2. Belajar menjadi bermakna bila siswa dihadapkan pada pemecahan masalah yang menantangnya. Oleh karena itu peletakan urutan masalah yang menantang harus disusun guru dengan baik.

  3. Belajar menjadi bermakna bila guru mampu memusatkan segala kemampuan mental siswa dalam program kegiatan tertentu.

  4. Sesuai dengan perkambangan jiwa siswa, maka kebutuhan bahan-bahan belajar siswa semakin bertambah.

  5. Belajar menjadi menantang bila siswa memahami prinsip penilaian dan faedah nilai belajarnya bagi kehidupan dikemudian hari.

    1. Optimalisasi Unsur Dinamis Belajar dan Pembelajaran

  1. Pemberian kesempatan pada siswa untuk mengungkap hambatan belajar yang dialaminya.

  2. Memelihara minat, kemauan, dan semangat belajarnya sehingga terwujud tindak belajar.

  3. Meminta kesempatan pada orang tua siswa atau wali, agar memberi kesempatan pada siswa untuk beraktualisasi diri dalam belajar.

  4. Memanfaatkan unsur-unsur lingkungan yang mendorong belajar.

  5. Menggunakan waktu secara tertib, penguat dan suasana gembira terpusat pada perilaku belajar.

  6. Guru merangsang siswa dengan penguatan pembari rasa percaya diri bahwa ia dapat mengatasi segala hambatan dan pasti berhasil.

  7. Optimalisasi Pemanfaatan Pengalaman dan Kemampuan Siswa

  8. Siswa ditugasi membaca bahan belajar sebelumnya, tiap membaca bahan belajar siswa mencatat hal-hal yang sukar dan diserahkan pada guru.

  9. Guru mempelajari hal-hal yang sukar bagi siswa.

  10. Guru memecahkan hal-hal yang sukar, dengan mencari cara memcahkan.

  11. Guru mengajarkan cara memecahkan dan mendidikkan keberanian mengatasi kesukaran.

  12. Guru mengajak serta siswa mengalami dan mengatasi kesukaran.

  13. Guru memberi kesempatan kepada siswa yang mampu memecahkan masalah untuk membantu rekan-rekannya yang mengalami kesukaran.

  14. Guru memberi penguatan para siswa yang berhasil mengatasi kesukaran belajarnya sendiri.

  15. Guru menghargai pengalaman dan kemampuan siswa agar belajar secara mandiri.

    1. Pengembangan Cita-cita dan aspirasi Belajar

  1. Guru menciptakan suasana belajar yang menggembirakan.

  2. Guru mengikutsertakan semua siswa untuk memelihara fasilitas belajar.

  3. Guru mengajak siswa untuk membuat perlombaan untuk belajar.

  4. Guru mengajak serta orang tua siswa untuk memperlengkap fasilitas belajar.

  5. Guru memberanikan siswa untuk mencatat keinginan-kainginan siswa yang tercapai dan tidak tercapai.

  6. Guru bekerja sama dengan pendidik lain, untuk mendidikkan dan mengembangkan cita-cita belajar sepanjang hayat.20








1 Djoko Witarko,Seri Panduan Rumah Belajar 1,Coca Cola Foundation Indonesia,Jakarta,2006,Hal.xi.

2putrabungsu-yahoo.blogspot.com/.../minat-siswa-belajar-pendidikan-agama_24.html - Tembolok - Mirip (Di kutip tanggal 26 Juli 2009)


3 http://www.sdm4sby.com/index.php

4 Ibid, hal. 41.

5 Joko Witarko,Loc Cit,.hal.55.

6 Drs.H. Nashar, M. Ag.,Loc.Cit,.hal.50.

7 Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM.,Manajeman Pembelajaran,Sukses Offset,Yogjakarta,2007,hal.35.

8 Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM,Ibid.,Hal.35.

9 Ibid.,Hal.36.

10 Ibid.,Hal.37.


11 http://www.luwzee.blog.friendster.com/.../tinjauan-tentang-minat-belajar-anak/

12 Drs. H. Mgs. Nazarudin, M.M., Op. Cit..,Hal.17.


13 Darmiyati Zuchdi, yang berjudul ,Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD,Bumi Aksara,Jakarta,2009,hal.49

14 Darmiyati Zuchdi,Ibid.,hal.53.

15 Ibid,hal.57.

16 Ibid,hal.60.

17 Ibid,hal.65.

18 Ibid,hal.67.

19 Ibid,hal.67.

20 Abdul Rahman Shaleh,Psikologi Suatu Pengantar Dalam Perspektif Islam,Prenada Media,Jakarta,2004,hal.128.

BAB II

RUMAH BELAJAR GANECHA DALAM MENINGKAT MINAT BELAJAR AGAMA ISLAM ANAK


        1. RUMAH BELAJAR

1. Pengertian Rumah Belajar

Rumah Belajar adalah perpustakaan yang juga tempat belajar kegiatan yang menyediakan informasi dari koleksi dan juga kegiatanya.1 Secara fisik rumah belajar ganecha adalah tempat seperti halnya perpustakaan. Pada fungsi lebih lanjut rumah belajar dapt saaja berwujud jariangan sistem informasi seperti perpuskaan elektronik. Tetapi lebih dari itu rumah belajar juga terwujud kegiatan. Rumah belajar ibarat perpustakaaan hidup yang menyediakan informasi tidak hanya dari koleksi dan sistem jaringan yang di bangaun tetapi juga dari semua pengguna dan terutama dari aktivitas layanan yang di ciptakan.

Jika pendidikan memanggil manusia mmenjadi pribadi insemanusiawi yang semanusia mungkiin maka runah belajar ganecha memanggil siapa saja,kapan saja dan mana saja. Untuk memberi arti baru dari kata belajar yang tidak saja memasukan berbagai infornasi kedalam diri(outside in) teapi juga menjadikan apa yang ada dalam diri keluar menjadi tutur kata sikap,perilaku,ketrampilan, keahlian.

      1. Jenis-jenis Bimbingan Belajar

Bimbingan belajar diberikan guru kepada peserta didik agar memiliki kemampuan optimal dalam mengembangkan seluruh potensi dirinya. Bimbimgan dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek kemampuan dan minat peserta didik.

  1. Penyelenggaraan bimbingan belajar dilakukan berdasarkan perencanaan yang matang. Perencanaan bimbingan seyogyanya

merupakan hasil sharing dengan seluruh komponen pendukung sekolah dan berdasarkan analisa kebutuhan pembelajaran.

  1. Perencanaan bimbingan belajar ditekankan kepada upaya membiasakan berperilaku terpuji, kretif, memahami dunia kerja dan mengembangkan kemampuan dasar, dan membuat perencanaan serta matang dalam mengambil keputusan.

c. .Perencanaan bimbingan belajar ditujukan kepada penyiapan peserta didik untuk melanjutkann pendidikan tinggi atau memasuki lapangan kerja. Perlu pula direncanakan bimbingan yang diberikan kepada peserta didik selama mengikuti pelaksanaan program perbaikan dalam rangka mencapai kemampuan dasar yang tercantum dalam kurikulum nasional.


        1. MINAT BELAJAR AGAMA ISLAM

              1. Pengertian Minat Belajar Agama Islam

Minat dalam pengertian umum adalah “Sesuatu yang menimbulkan perhatian yang kuat Maksudnya segala sesuatu hal yang menimbulkan keinginan dan perhatian yang kuat dikatakan dengan minat atau kemauan. Minat terhadap sesuatu hal akan timbul apabila seseorang menaruh perhatian terhadap obyek itu. Perhatian ini dapat terjadi dengan sendirinya maupun karena pengaruh dari luar, terutama dari lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.Untuk membangkitkan minat ini diperlukan beberapa syarat, seperti: obyek itu harus menarik perhatian, baik karena warna yang kontras, bunyi, atau gerakannya. Di sekolah, seorang guru perlu menggunakan alat peraga atau model untuk menarik perhatian murid. Ini sekaligus untuk mengurangi proses abstraksi yang masih sulit bagi anak.2



Menumbuhkan minat belajar anak membutuhkan proses yang tidak instan. Pertama menumbuhkan terlebih dahulu rasa butuh akan manfaat suatu pelajaran. Misalnya ketika orangtua berharap anak memiliki kesadaran belajar Agama. Sebelum ditanya PR, perlu sesekali tanyakan ”adakah yang menarik di kelas...? siapa teman yang kamu sukai dan tidak sukai...? kenapa kamu menyukai atau tidak menyukai...? apa yang kamu lakukan pada mereka ? ada gak pelajaran yang membahas kerukunan? ”. Menurut kamu apa manfaatnya setelah belajar kerukunan ?.”

Kedua menjadikan anak sebagai partner belajar. Tidak selamanya orangtua harus selalu tampak pintar, adakalanya perlu sesekali kelihatan bodoh dan tidak tahu untuk memancing penjelasan anak. Hal ini bisa mendorong anak untuk lebih percaya diri dan mencari sebanyak mungkin informasi baik dari guru, buku bacaan maupun media elektronik yang tersedia.

Ketiga, Kunjungan edukasi keluarga. Tidak harus mahal dan menggunakan perijinan yang rumit.. Sesekali ajak anak ke pasar tradisional untuk melalukan transaksi jual beli. Karena selama ini jika ke Mall, belanja menjadi sangat individualis tanpa ada transaksi yang melibatkan emosi dan sosialisai. Datangkan langsung ke sumber-sumber kehidupan sehari-hari.misalnya peternakan sapi, kemudian dilanjutkan ke pabrik pembutan susu. Dia belajar proses proses produksi – distribusi sampai konsumsi. Dorong anak tidak selamanya menjadi konsumen tetapi perlu menjadi produsen. Hal ini akan mengurangi gaya hidup konsumtif dan meningkatkan nilai produktivitas SDM yang akan datang. . Misalnya membuat kertas daur ulang atau menyediakan bibit tanaman buah-buahan.

Keempat, menjadikan anak sebagai pelopor. Seringkali memulai kebaikan memang tidak mudah. Misalnya dalam global warming, di sekolah mereka sudah belajar teorinya. Tapi bagaimana anak juga juga menyelaraskan teori dengan aksi. Maka latihlah menjadi anak yang ”beda’. Jika kebanyakan anak berangkat diantar mobil, sepeda motor atau mobil angkutan. Maka latihlah sesekali menggunakan sepeda atau dengan jalan kaki jika jaraknya dekat. Selain sehat juga mengurangi polusi udara yang menimbulkan efek rumah kaca. Tidak hanya sendiri tapi orangtuapun memulai gerakan yang sama.

Keempat tahap diatas membutuhkan kerja sama serta komunikasi yang intensif antara sekolah dan rumah (orangtua). Keduanya memiliki hubungan yang komplementer (saling melengkapi) bukan saling menggantungkan. Guru atau sekolah tidak hanya menjadikan orang tua atau rumah sebagai kambing hitam ketidakmampuan dan kemalasan anak dalam belajar begitupun orangtua tidak menggantungngkan 100 % tercapainya tujuan pendidikan lewat sekolah3

Suatu minat dapat berkembang seiring dengan kebiasaan yang sering dilakuka, dimana kebiasaan dapat diartikan suatu sikap atau kegiatan yang bermanfaat fisik atau mental yang telah mendarah daging atau membudidaya dalam diri seseorang.4 Minat dan motifasi sangat menentukan terbentuknya suatu kebiasaan,akan tetapi memang memerlukan waktu yang lama.

Belajar merupakan perubahan tingkah laku, perubahan itu mangarah pada tingakah laku yang baik, yang terjadi melalui latihan atau pengalaman.5

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Drs.H. Nashar, M. Ag yang berjudul “Peranan Motivasi dan Kemampuan Awal dalam Kegiatan pembelajaran”,Kohman Abror berpendapt bahwa belajar yaitu: (1) menimbulkan perubahan yanga relatif tetap. (2) perubahan itu membedakan antara keadaan sebelum individu berada dalam situasi belajar dan sesudah diberlakukan belajar. (3) perubahan itu dilakukan lewat kegiatan, usaha atau praktek yang disengaja atau yang diperkuat.6

Agama Islam merupakan suatu sistem aqidah dan syariah serta akhlak yang mengatur hidup dan kehidupan dalam berbagai hubungan. Ruang lingkupnya lebih luas dari ruang lingkup agama nasrani yang hanya mengatur hubungan manusia dan Tuhan. Agama Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia denagan manusia dalam masyarakat termasuk dengan diri manusia itu sendiri tetapi juga dengan alam sekitarnya yang kini terkenal dengan lingkungan Islam.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat penulis simpulkan bahwa minat belajar agama islam adalah kemauan untuk merubah tingkah laku sesuai sistem aqidah serta ahlak yang mengatur hidup dan kehidupan dalam berbagai hubungan.

              1. Teori-teori Belajar Agama Islam Anak.

Ada beberapa strategi pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru Pendidikan Agama Islam dalam rangka mewujudkan proses pembelajaran yang actual seperti dimaksud, yaitu:

  1. Terpusat Pada Guru

Strategi pembelajaran yang terpusat pada guru adalah pembelajaran yang menempatkan guru sebagai pemberi informasi, Pembina dan pengarah satu-satunya dalam proses belajar mengajar. Model didasarkan pada konsep mengajar yang bersifat rasionalitas akademis yang menekankan segi pemberian pengetahuan semata-mata, dengan tidak melihat bahwa pengajaran juga harus mengandung maksud pembinaan dan pengembangan terhadap berbagai potensi yang dimiliki para siswa.

Sebagai akibat dari konsep mengajar yang demikian itu, maka seorang guru yang mengajar mencakupkan dirinya pada penguasaan bahan pelajaran semata-mata, tanpa harus mengetahui nilai-nila,I apa saja yang dapat disentuh oleh materi pelajaran yang akan diberikan kepada siswanya. Dalam keadaan yang demikian, yang terjadi pengajaran dan bukan pendidikan. Dari pengajaran yang demikian itu, dapat dihasilkan siswa-siswa yang cukup luas pengetahuannya, tetapi tidak cukup mantap kepribadiannya, dan kalau hal ini sempat terjadi, maka kita menghadapi situasi yang cukup gawat.

Akibat lanjut dari sistem pengajaran ini, akan mudah bagi seorang guru untuk terjebak kedalam perbuatan pamer pengetahuan, ketika ia berdiri di depan kelas. Ia sibuk sekali didepan kelas, tetapi tidak mendidik, tidak pula mengajar, tetapi asyik membeberkan pengetahuan yang dimilikimya dan asyik menikmati kekagumanyang diperlihatkan siswa-siswanya.

Selanjutnya, jika pamer pengetahuan tersebut terjadi tanpa sengaja, dan dampak yang ditimbulkannya hanya kekaguman siswa, maka hal yang demikian masih dapat dinilai wajar. Akan tetapi, apabila pamer pengetahuan ini sudah merupakan suatu perbuatan yang disengaja, secara pedagogis yang dihadapi adalah situasi yang tidak etis. Yang dijumpai dalam hal ini ialah guru yang menyalahgunakan kelemahan-kelemahan para siswa : kekurangan pengetahuan mereka, keterbatasan pengalaman hidup mereka dan ketidakberdayaan mereka dalam menghadap gurunya. Dampak yang akan timbul dari keadaan tersebut bukan kekaguman lagi kepada guru, melainkan kebingungan siswa tentang pelajaran yang diterima dan ketakutan siswa terhadap diri sang guru. Ironisnya adalah bahwa dalam masyarakat kita masih ada sekelompok guru atau dosen yang justru menikmati ketakutan dan kebingungan para siswa atau mahasiswanya. Jika keadaan ini sudah terjadi dengan sengaja, masalahnya bukan karena kesalahan pedagogis melainkan sikap tidak etis dan dosa pedagogis.

Model pengajaran yang demikian itu banyak terjadi pada Negara-negara berkembang, dan lebih khusus lagi pada masyarakat pedesaan yang belum tersentuh perkembangan dibidang informasi. Kita misalnya melihat bahwa dipedesaan masih terbatas sarana informasi yang memuat ilmu pengetahuan danb teknologi, seperti buku, majalah, surat kabar, dan sebagainya. Dalam keadaan yang demikian, sumber informasi sepenuhnya berada ditangan guru. Gurulah satu-satunya sumber informasi, dimana para siswa dan masyarakat sekitarnya amat bergantung kepadanya. Keadaan ini berbeda dengan masyarakat yang sudah maju seperti di perkotaaan dimana sumber informasi sudah banyak dkijumpai.

  1. Terpusat Pada Siswa.

Seiring dengan kemajuan yang terjadi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, konsep pembelajaran pun mengalami perubahan, yaitu dari yang semula berpusat pada guru, menjadi lebih berpusat pada siswa. Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM., yang berjudul “Manajeman Pembelajaran” Chauhan berpendapat bahwa Dalam hubungan ini, seorang pakar pendidikan mengatakan bahwa mengajar adalah “upaya dalam memberikan perangsang (stimulasi), bimbingan dan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar” (Chauhan, 1979:46).7 Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM., yang berjudul “Manajeman Pembelajaran” Burton berpendapat bahwa Pandangan ini sejalan dengan pendapat Gagne dan Briggs yang mengatakan bahwa is a set of events which affect learness in such way that learning is facilitated. Yaitu menciptakan berbagai peluang yang berpengaruh terhadap proses belajar yang dengan sendirinya tercipta berbagai kebutuhan belajar “(Burton, 1944:72).8 Dengan demikian dalam mengajar yang penting bukan upaya guru menyampaikan bahan, melainkan bagaimana siswa dapat mempelajari bahan sesuai dengan tujuan. Dalam hal ini upaya penting yang harus dilakukan adalah menciptakan serangkaian peristiwa yang dapat mempengaruhi siswa belajar. Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM., yang berjudul “Manajeman Pembelajaran” Burton berpendapat bahwa “Peran guru mengalami pergeseran dari yang semula sebagai satu-satunya pemberi informasi, menjadi sebagai orang yang bertindak sebagai direcror and facilitator of learning, yakni pengarah dan pemberi fasilitas untuk terjadinya proses belajar. Sejalan dengan ini harus diakui akan kebenaran pernyataan bahwa pengajaran itu pada hakekatnya adalah suatu proses yang mengandung makna, bukan semata-mata proses yang mekanis”(Burton, 1944:72).9

Konsep belajar tersebut mengisyaratkan pentingnya siswa sebagai faktor dominant dalam merencanakan kegiatan belajar mengajar. Hal ini sebagai kebalikan dari metode pembelajaran yang terpusat pada guru sebagaimana disebutkan diatas.

  1. Terpusat Pada Guru dan Siswa.

Jika pada strategi pertama kegiatan belajar mengajar didominasi oleh guru, dan strategi, dan strategi yang kedua kegiatan belajar mengajar oleh siswa, maka pada strategi yang ketiga kegiatan belajar mengajar tidak terpusat pada salah satu dari keduanya, tetapi terjadi interaksi antara guru dan siswa secara bersama-sama. Dalam kaitan ini belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbale balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan timbale balik antara guru dan siswa tersebut merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar mengajar. Interaksi dalam peristiwa belajar mengajar mempunyai arti yang lebih luas, yaitu tidak hanya sekedar hubungan antara guru dengan siswa, tetapi berupa interaksi edukatif. Dalam hubungan ini tugas seorang guru bukan hanya menyampaikan pesan berupa materi pelajaran, melainkan pemahaman sikap dan nilai pada diri siswa yang sedang belajar.

Sejalan dengan uraian tersebut maka proses belajar mengajar mempunyai makna dan pengertian yang lebih luas daripada pengertian mengajar dalam arti memberikan bekal pengetahuan semata-mata. Dalam proses belajar mengajar, tersirat adanya satu kesatuan kegiatan yang tak terpisahkan antara siswa yang belajar dengan guru yang mengajar. Antara dua kegiatan ini terjalin interaksi yang saling menunjang.

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM., yang berjudul “Manajeman Pembelajaran” Burton berpendapat bahwa “Peranan guru yang terpenting adalah menciptakan serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan, dan dilakukan dalam situasi tertentu, serta berhubungan dengan kemajuan dalam bidang perubahan tingkah laku dan perkembangan siswa yang menjadi tujuannya”(Burton, 1944:56).10

Dengan demikian dalam proses interaksi belajar mengajar itu target yang ingin dicapai bukan hanya pengajaran, melainkan juga pendidikan secara sekaligus. Untuk itu seorang guru harus tahu nilai-nilai apa yang dapat disentuh oleh materi pelajaran yang akan diberikan kepada siswanya. Guru harus tahu sifat-sifat kepribadian apa yang dapat dirangsang pertumbuhannya melalui materi pelajaran yang akan disajikan. Misalnya dapatkah suatu gugus materi pelajaran matematika dipergunakan untuk merangsang pertumbuhan nilai-nilai kejujuran, ketelitian, dan keuletan kerja pada diri para siswa.

Pertanyaan semacam itulah yang seharusnya dipikirkan oleh seorang guru yang ingin meningkatkan perbuatan mengajar yang dilakukannya menjadi perbuatan mendidik. Ini bukan suatu hal yang mudah. Inilah sebabnya mengapa banyak guru yang tidak selalu berhasil meningkatkan diri mereka menjadi pendidik. Mereka terpaku pada aspek-aspek pengajaran dalam m,elaksanakan tugas mereka sehari-hari. Ini tidak berarti pula bahwa pekerjaan mengajar itu mudah. Untuk mengajar dengan baik, diperlukan sikap tertentu, yaitu sikap gemar mencari pengetahuan baru dan senang berbagi pengetahuan dengan orang lain. Orang yang sudah merasa puas dengan pengetahuan yang telah dimilikinya tidak akan dapat menjadi pengajar yang baik.

Disamping masalah sikap ini, diperlukan pula ketrampilan dan kemampuan tertentu untuk mejadi pengajar yang baik. Antara lain ketrampilan untuk menyajikan suatu bahan pelajaran secara sistematik, kemampuan untuk memahami dan menyelami alam pikiran para siswa, dan kemampuan untuk meramu bahan pelajaran, sehingga tersusun suatu program pelajaran yang relecan dengan realitas yang terdapat dalam kehidupan para siswa. Memupuk sikap, ketrampilan serta kemampuan seperti ini memerlukan iktiar dan waktu.

  1. Strategi mana yang harus digunakan

Ketiga macam strategi pembelajaran sebagaimana disebutkan diatas dapat digunakan sesuai dengan lingkungan sosial dimana kegiatan pengajaran itu dilakukan. Bagi masyarakat agraris yang serba kurang informasi kecenderungan untuk menerapkan model pembelajaran yang terpusat pada guru tampak cukup dominant, sebagaimana hal yang demikian itu masih dapat dijumpai pada berbagai daerah dipedesaan di Indonesia. Selanjutnya, bagi masyarakat modern yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dengan pola hidup yang cenderung liberal, tampaknya metode pembelajaran yang memusat pada murid cukup dominant. Mata pelajaran atau program studi yang akan dipelajari ditentukan oleh kemauan dan pesanan para murid. Sementara pada masyarakat yang masih dalam keadaan transisi antara dua kebudayaan tersebut, yaitu antara kebudayaan agraris dan kebudayaan modern, pembelajaran yang memadukan antara kehendak guru dan murid tampaknya merupakan alternative yang pas.

Selanjutnya, perlu dicatat bahwa penentuan pilihan pada salah satu strategi pembelajaran tersebut, selain berimplikasi pada konsep belajar mengajar sebagaimana disebutkan diatas, juga akan memberikan implikasi pada seluruh aspek pendidikan, mulai dari perumusan tujuan pendidikan, kurikulum, materi pendidikan, metode dan pendekatan, sarana prasarana, lingkungan pendidikan, evaluasi dan sebagainya.

Pada strategi pembelajaran yang memusat pada guru misalnya, seluruh aspek pendidikan tersebut ditentukan oleh guru. Dengan demikian, gurulah yang menetukan tujuan pendidikan yang ingin dicapai; kurikulum atau mata-mata kuliah yang akan diberikan; materi pelajaran yang diajarkan; metode dan pendekatan dalam mengajar yang akan digunakan; sarana prasarana yang akan diperlukan; lingkungan pendidikan yang dibutuhkan serta model evaluasi yang ingin ditempuh. Dalam keadaan demikian murud tidak dijadikan factor dalam merumuskan metode pembelajaran yang akan diterapkan, tetapi hanya dijadikan objek atau sasaran dari kehendak guru. Beruntung jika segala sesuatu yang dirancang oleh guru itu merupakan halhal yang akan mendatangkan manfaat bagi murid. Namun, alangkah ruginya para murid jika apa yang didapatnya dari pengajaran yang diberikan guru itu adalah sesuatu yang tidak lagi diperlukan oleh masyarakat. Dalam keadaan yang demikian, guru atau lembaga pendidikan harus bertanggung jawab atas nasib kehidupan para lulusannya; karena guru atau lembaga pendidikan tersebut telah menghasilkan lulusan yang bermasalah. Implikasi dari metode pembelajaran yang berpusat pada guru atau lembaga pendidikan semacam ini masih banyak dijumpai pada masyarakat Indonesia, khususnya di pedesaan mengngingat para siswa atau masyarakat berada dalam posisi yang lemah dalam menentukan atau ikut serta merancang pendidikan yang diberikan kepadanya.

Untuk melengkapi pengertian mengenai makna belajar, perlu kiranya dikemukakan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan belajar siswa. dalam hal ini ada beberapa prinsip yang penting untuk diketahui, antara lain :

  1. Belajar pada hakekatnya menyangkut potensi manusiawi dan kelakuannya.

  2. Belajar memerlukan proses dan pemantapan serta kematangan diri siswa.

  3. Belajar akan lebih mantap dan efektif, bila didorong dengan motivasi, terutama motivasi dari dalam atas dasar kebutuhan atau kesadaran (instrinsic motivation), lain halnya belajar dengan karena rasa takut atau dibarengi dengan rasa tertekan dan menderita.

  4. Dalam banyak hal belajar itu merupakan proses percobaan (dengan kemungkinan berbuat keliru) dan conditioning atau pembiasan.

  5. Kemambuan belajar seseorang siswa harus diperhitungkan dalam rangka menentukan isi pelajaran.

  6. Belajar dapat melakukan tiga cara :

  1. Diajar secara langsung.

  2. Kontrol, kontak, penghayatan, pengalaman langsung (seperti anak belajar bicara, sopan santun, dan lain-lain)

  3. Pengenalan dan/atau peniruan.

  1. Belajar melalui praktek atau mengalami secara langsung aakn lebih efektif mampu membina sikap, keterampilan, cara berfikir kritis dan lain-lain, bila dibandingkan dengan belajar hafalan saja.

  2. Perkembangan pengalaman anak didik akan banyak mempengaruhi kemampuan belajar yang bersangkutan.

  3. Bahan pelajaran yang bermakna atau berarti, lebih mudah dan menarik untuk dipelajari, daripada bahan yang kurang bermakna.

  4. Informasi tentang kelakuan baik, pengetahun, kesalahan serta keberhasilan siswa, banyak membantu kelancaran dan gairah belajar.

  5. Belajar sedapat mungkin diubah ke dalam bentuk aneka ragam tugas, sehingga anak-anak melakukan dialog dalam dirinya atau mengalaminya sendiri.11

              1. Tujuan Belajar Agama Islam dan fungsi belajar Pendidikan Agama Islam

Pendidikan Agama Islam bertujuan memberi bekal kemampuan dasar keadaan peserta didik meliputi:

    1. Memiliki dasar keimanan yang mantap

    2. Mengetahui ketentuan dasar beribadah.

    3. Gemar membaca dan menulis huruf Al-Quran.

    4. Melaksanakan puasa, infak dan sedekah

    5. Bertatakrama dan berperilaku terpuji

    6. Menghayati nilai-nilai keteladanan para rosul dan sahabat.

Pendidikan Agama Islam, baik sebagai penanaman keimanan dan seterusnya maupun sebagai materi (bahan ajar) memiliki fungsi yang jelas.Fungsi Pendidikan Agama Islam adalah sebagai berikut :

    1. Pengembangan; yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Pada dasarnya dan pertama- tama menanamkan kuwajiban menanamkan keimanan dan ketaqwaan dilingkungan oleh setiap orang tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuhkembangkan lebih lanjut dalam diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan ketaqwaan tersebut dapat berkembangan secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.

    2. Penyaluran; yaitu untuk mernyalurkan peserta didik yang memiliki bakat khusus dibidang agama agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal sehingga dapat dimangfaatkan untuk dirinya sendiri dan dapat pula bermanfaat untuk orang lain.

    3. Perbaikan; yaitu untuk memperbaikai kesalahan- kesalahan, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan dalam keyakinan,pemahaman dan pengamalan ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari.

    4. Pencegahan; Yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari lingkungan peserta didik atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dan menghambat perkembangan dirinya menuju manusia Indonesia seutuhnya.

    5. Penyesuaian; yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik linkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran Islam.

    6. Sumber nilai; yaitu memberikan pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

    7. Pengajaran; yaitu untuk menyampaikan pengetahuan keagamaan yang fungsional.12

  1. Faktor Penghambat Minat Belajar Agama Islam

Tantangan dunia pendidikan pada umumnya bukanlah permasalahan yang berdiri sendiri, tetapi terkait baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perkembangan iptek dan aspek kehidupan yang lain, baik ekonomi, politik, maupun social budaya. Berbagai tantangan yang dihadapai dunia pendidikan pada umumnya juga harus dihadapi oleh pendidikan agama sebagai bagian dari pendidikan bangsa. Kalau dunia pendidikan di Indonesiaproses memerlukan berbagai inovasi agar tetap berfungsi optimal ditengah arus perubahan, maka pendidikan agama juga memerlukan berbagai upaya inovasi agar eksistensinya tetap bermakna bagi kehidupan bangsa.

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa, hambatan pendidikan agama yang begitu kompleks pada dasarnya dapat dikelompokkan kedalam dua macam, yaitu hambatan internal dan eksternal. Hambatan internal menyangkut sisi pendidikan agama sebagai program pendidikan baik dari segi pemahaman terhadap materi Pendidikan Agama Islam, perancangan, maupun pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan agama Islam itu sendiri. Hambatan eksternal berupa hubungan kemajuan iptek, era globalisasi dibidang informasi, perubahan sosial ekonomi dan budaya dengan segala dampaknya. Problem yang merupakan konsekuensi logis dari perkembangan iptek yang menuju proses globalisasi dan derasnya arus informasi, menyebabkan permasalahan yang sangat kompleks, tidak terkecuali pendidikan agama. Sebab proses ini nyatanya lebih mementingkan materi dan mengesampingkan agama.

Berbagai macam tantangan Pendidikan Agama Islam tersebut sebenarnya dihadapi oleh semua pihak, baik keluarga, pemerintah , maupun masyarakat, baik yang terkait langsung ataupun tidak langsung dengan kegiatan pendidikan agama Islam. Namun demikian, guru Pendidikan Agama Islam di sekolah yang terkait langsung dengan pelaksanaan pendidikan Islam dituntut untuk mampu menjawab dan mengantisipasi berbagai tantangan tersebut. Untuk mkengantisipasinya, diperlukan adanya profil guru Pendidikan Agama Islam di sekolah yang mampu menampilkan sosok kualitas personal atau professional dalam menjalankan tugasnya. Dengan ini diharapkan performance dia dalam membelajarkan pendidikan agama Islam betul-betul dapat dipertanggung jawabkan, baik secara intelektual, moral, maupun spiritual, sehingga kepribadian dia dapat menjadi kurikulum tersembunyi bagi siswa.

  1. Tantangan Internal

Sebagaimana uraian terdahulu, bahwa selama ini terdapat berbagai kritik dan sekaligus solusi terhadap pelaksanaan pendidikan agama yang sedang berlangsung di sekolah. Secara konseptual-teoritis, kritik dan solusi tesebut telah dijadikan pertimbangan dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama di sekolah. Untuk itu, dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK) salah satu rekomendasinya dinyatakan bahwa, pendidikan agama harus dilaksanakan secara terpadu, yakni keterpaduan pembinaan antara tiga lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, serta keterpaduan antara pendidikan agama dengan perkembangan iptek. Karena itu, pelaksanaan Pendidikan Agama Islam disekolah harus mampu memenuhi tuntutan tersebut. Di samping itu, Andi Rasdinah mengemukakan beberapa kelemahan lainnya dari pendidikan agama islam di sekolah, bik dalam pemahaman materi Pendidikan agama Islam maupun dalam pelaksanaannya, yaitu:

1). Dalam bidang teologi, ada kecenderungan mengarah kepada faham fatalistik.

2). Bidang akhlak berorientasi pada urusan sopan santun dan belum difahami sebagai ikeseluruhan pribadi manusia beragama.

3). Bidang ibadah diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan kepribadian.

4). Dalam bidang hukum (fiqih) cenderung dipelajari sebagai tata aturan yang tidak akan berubah sepanjang masa, dan kurang memahami dinamika dan jiwa hukum Islam.

5). Agama Islam cenderung diajarkan sebagai dogma dan kurang mengembangkan rasionalitas serta kecintaan pada ilmu pengetahuan.

6). Orientasi mempelajari Al-Quran masih cenderung kepada kemampuan membaca teks, belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna.

Towaf juga mengamati adanya kelemahan-kelemahan Pendidikan Agama Islam di sekolah, antara lain:

1). Pendekatan masih cenderung normative, dalam arti pendidikan agama menyajikan norma-norma yang sering kali tanpa ilustrasi konteks social budaya, sehingga siswa kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian.

2). Kurikulum pendidikan agama Islam yang dirancang disekolah sebenarnya lebih menawarkan minimum kompetensi atau minimum informasi, tetapi pihak guru Pendidikan Agama Islam seringkali terpaku padanya, sehingga semangat untuk memperkaya kurikulum dengan pengalaman belajar yang bervariasi kurang tumbuh.

3). Sebagai dampak yang menyertai situasi diatas, maka guru Pendidikan Agama Islam kurang berupaya menggali berbagi metode yang mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agama, sehingga pelaksanaan pembelajaran cenderung monoton.

4). Keterbatasan sarana atau prasarana, sehingga pengelolaan cenderung seadanya. Pendidikan agama yang diklaim sebagai aspek yang penting seringkali kurang diberi prioritas dalam urusan fasilitas.

Tantangan Pendidikan Agama Islam juga terkait dengan tantangan dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya, terutama dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia itu, yaitu:

1). Era kompetitif yang disebabkan oleh meningkatnya standar dunia kerja.

2). Jika kualitas pendidikan menurun, maka kualitas sumber daya manusia juga menurun dan lemah pula dalam hal keimanan dan ketaqwaan serta penguasaan iptek.

3). Kemajuan teknologi informasi menyebabkan banjirnya informasi yang tidak terakses dengan baik oleh para guru dan pada gilirannya berpengaruh pada hasil pendidikan.

4). Dunia pendidikan tertinggal dalam hal metodologi.

5). Kesenjangan antara kualitas pendidikan dengan kenyataan empiric perkembangan masyarakat.

b. Tantangan Eksternal (global)

Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa awal perkembangan sains modern (sekitar abad 16/17 M) pernah terjadi perpecahan antara kaum agamawan dan ilmuan, yang ditandai dengan sikap keras kaum agamawan Eropa (penganut geosentris) kepada penganut faham heliosentris, seperti Copernicus, Bruno, Kepler, Galileo, dan lain-lainnya. Metodologi yang dikembangkan oleh mereka mengandalkan kemampuan inderawi (empiris), sehingga kajian-kajian keagamaan yang bersifat non-inderawi dianggap tidak ilmiah.

Pengalaman sejarah juga menunjukkan bahwa di Negara yang sudah memasuki era industri, dimana masyarakatnya sangat mendambakan rasionalitas , efisiensi, teknikalitas, individualitas, mekanistis, materialistis, ternyata semua yang berbau sacred (suci) nyaris tidak mendapat tempat pada masyarakat itu. Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD” Ellul (1964) telah mengidentifikasi lima alasan sosiologis berdasarkan tradsi Nasrani, tentang mengapa orang semakin sedikit dan ogah dalam menjalankan nilai-nilai agama. Kelima alas an itu adalah:

1). Sekularisasi.

2). Iklim penalaran dan skeptisisme.

3). Ketidakpraktisan sembahyang.

4). Kerancuan sembahyang dan moralitas.

5). Keterbatasan bahasa atau berberlit-belitnya bahasa sembahyang.13

Namun demikian, kalau kita mengamati fenomena yang terjadi pada akhir abad 20 (di mana kemajuan iptek sudah begitu maju pesat), ternyata justru terhjadi sebaliknya. Dalam arti terjadi hubungan yang harmonis antara ilmuan dan agamawan. Temuan-temuan dalam bidang iptek yang kasat mata membuat ilmuan percaya pada banyak hal yang tidak terjangkau oleh indera. Hal ini muncul terutama ketika disadari bahwa isi dalam alam semesta ini terdiri atas atom-atom yang dapat diteliti lagi menjadi sub-sub atom. Karena itu, para ilmuan terperangah bahwa banyak hal yang harus dipercaya “ada”nya tanpa harus ditangkap oleh indera, termasuk electron, cahaya, gelombang radio, dan sebagainya. Di Indonesia, perpecahan antara ilmuan dan agamawan ternyata tak tercatat dalam sejarah perkembangan iptek, mlahan himbauan agar ilmuan dan agamawan saling mendukung sangat terdengar gemanya di Indonesia. Misalnya Baiquni mengatakan bahwa iptek terus menerus memerlukan bantuan agama; dan Mangunwajiwa juga mengajak kita untuk menarik hikmah dari Galileo-Galilei.

Munculnya ICMI juga merupakan kasus yang menarik untuk mengharmonoskan hubungan antara ilmuan dan agamawan. Oleh karena itu, pengalaman sejarah dari Negara industri tersebut setidak-tidaknya akan sulit muncul di Indonesia, bilamana benar-benar tercipta keserasian antara ilmu pengetahuan dan agama.

Dalam arti keyakinan beragama (sebagai hasil dari pendidikan agama) diharapkan mampu memperkuat upaya penguasaan dan pengembangan iptek, dan sebaliknya pengembangan iptek memperkuat keyakinan beragama. Ilmu pengetahuan berbicara know what dan know why, dan teknologi berbicara know how. Sedangkan agamalah yang bisa menuntun manusia untuk memilih mana yang patut, bis, benar dan baik dikembangkan dan dijalankan. Di sinilah letak peranan pendidikan agama (Islam) dan sekaligus pendidiknya (Guru Pendidikan Agama Islam di sekolah) dalam mengantisipasi perkembangan kemajuan iptek. Dalam arti, mampukah guru Pendidikan Agama Islam menegakkan landasan, yang menjadi tiang utama ajaran agama, tatkala domonasi temuan iptek sudah demikian hebat dan menguasai segala perbuatan dan pikiran umat mausia.

Temuan iptek telah menyebarkan hasil yang membawa kemajuan, dan dampaknya terasa bagi kehidupan seluruh umat manusia. Semua hasil temuan Iptek disatu sisi harus di akui telah secara nyata mempengaruhi bahkan memperbaiki taraf dan mutu hidup manusia. Di sisi lain produk temuan dan kemajuan iptek itu telah mempengaruhi bangunan kebudayaan dan gaya hidup manusia.

Dalam era kemajuan iptek ini perubahan global semakin cepat terjadi dengan adanya kemajuan-kemajuan dari Negara maju di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Kemajuan iptek ini mendorong semakin lajunya proses globalisasi. Teknologi komputer misalnya, membanjiri setiap negara, bangsa dan budaya tanpa mengenal batas bangsa, negara dan budaya. Faksimili adalah teknologicetak jarak jauh yang dapat mengirimkan pesan untuk sispapun, di manapun, Negara manapun, dan bangsa apapun, serta bisnis dan institusi apapun. Faksimili adalah teknologi global yang membantu terciptanya globalisasi dalam pengiriman pesan dalam waktu yang cepat dan akurat. Televisi dengan antenna parabola merupakan media global yang mendorong terciptanya globalisasi penyiaran berita, budaya dan sebagainya secara interansional yang tidak mengenal batas ruang dan waktu.

Kenyataan semacam itu akan mempengaruhi nilai, sikap dan tingkah laku kehidupan individu dan masyarakatnya. Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD “Hasil studi yang dilakukan oleh Inkeles dan Smith (1974) dalam Muhaimin (1999) “di enam Negara sedang berkembang (Argentina, Bangladesh, Chili, India, Israel dan Nigeria) serta pernyataan Naissbit dan Aburdene dalam Megatrends 2000, sebagaimana dikemukakan terdahulu menunjukkan bahwa ada beberapa nilai, sikap dan tingkah laku individu dan masyarakat modern yang kongruen (sejalan) dengan ajaran Islam sekaligus tidak mendukung keberhasilan pembangunan. Ada pula nilai dan sikap modernitas yang tidak kongruen (berlawanan) dengan ajaran agama Islam sekaligus tidak mendukung keberhasilan pembangunan. Misalnya: lemahnya keyakinan keagamaan, sikap individualistis, materialistis, hedonistis dan sebagainya. Nilai-nilai dan sikap yang negatif itu akan muncul bersamaan dengan nilai dan sikap positif lainnya, yang sudah barang tentu merupakan ancaman bagi terwujudnya cita-cita pembangunan bangsa. Karena itu masalah yang perlu segera mendapat jawaban, terutama dari guru Pendidikan Agama Islam adalah “mampukah” kegiatan pendidikan agama (Islam) itu berdialog dan berinteraksi dengan perkembangan zaman modern yang ditandai dengan kemajuan iptek dan informasi, dan mampukah mengatasi dampak negatif dari kemajuan tersebut.”14

c. Hambatan Psikologis

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD “ Menurut Arifin (1993) kemajuan iptek yang amat mengandalkan kecerdasan rasio, sampai batas-batas tertentu dapat mengoreksi benteng-benteng nilai agama. Berbagi akibat yang muncul kepermukaan antara lain ialah nilai-nilai kehidupan umat manusia lebih banyak didasarkan pada nilai kegunaan, kelimpahan hidup materialistic, sekularistik, dan hdonistik yang menafikan nilai-nilai etika-religius, moralitas dan humanistis.15

Akibat dari hal tersebut, muncullah berbagai ragam gejala demokrasi, dekadensi, egoisme dan individualisme serta apatisme yang bersumber pada frustasi yang semakin membengkak, juga stress-sosial (ketegangan batin masyarakat) yang semakin menumpuk menumpuk dalam lapisan jiwa bawah sadar yang sewaktu-waktu dapat meletup dan meledak kepermukaan kehidupan masyarakat. Apalagi jika kekuatan atau daya pengendali mental-psikologis mereka tidak dapat bekerja dengan baik dalam setiap kelompok masyarakat itu.

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD “ Arifin mengatakan bahwa bila dilihat dari segi psikologis merupakan akibat terjangkitnya benih-benih penyakit mental yang sangat rentan terhadap timbulnya apa yang disebut teufel-kreis (lingkaran setan) yang sulit untuk di atasi (Arifin, 1993).16 Lingkaran setan inilah yang menjadi sumber pokokdari hambatan dan tantangan pendidikan dan pembelajaran agama kepada masyarakat.

Prinsipnya yang paling fundamental adalah antara kesenjangan hidup berkat dampak kemajuan iptek dengan tuntutan kebutuhan hidup harus dijembatani atau dipersempit rentangnya dengan penanaman nilai-nilai agama yang mendasari kekuatan sikap mental dan moral-spiritual perilaku lahiriah manusia secara individu sebagai anggota masyarakat. Nilai-nilai agama sebagai kekuatan mental dan moral-spiritual pribadi tersebut akan menjadi daya tangkal masyarakat terhadap segenap ronrongan infiltrasi dari dampak negatif kemajuan iptek modern yang semakin canggih.

Itulah sebabnya agama beserta nilai-nilai yang dikandungnya diwahyukan oleh Tuhan kepada Rosul-Nya untuk merubah pandangan dan perilaku hidup manusia yang menyimpang dari garis-garis normatif-religius kepada jalan yang lurus yang diridhoi-Nya. Perubahan dan pandangan perilaku ini menjadi sumber kekuatan mental-spiritual untuk membebaskan diri dari tekanan psikologis sebagai akibat dari perubahan pola hidup masyarakat.

Untuk itu, kehidupan yang paling ideal pada era masyarakat madani sekarang ini dan mungkin yang akan datang adalah apabila kekuatan iman dan taqwa sebagai buah dari pendidikan dan pembelajaran agama mampu menjadi pengendali, penyeleksi dan penyaring segala unsure kemajuan iptek yang secara intrinsic bersifat merusak mental dan moral-spiritual masyarakat. Dengan kehidupan yang demikian, induvidu dan masyarakat akan menemukan kehidupan yang sebenarnya atau kehidupan sejati yang selalu disinari oleh Nur Illahi.



d. Hambatan Sosial-Politik

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD “ Arifin mengatakan bahwa Dalam proses perubahan social-politik di Negara kita ini dapat kita lihat peristiwa-peristiwa yang anti social, sadisme, anarkhisme dan tindakan lain yang tidak berperikemanusiaan yang sama sekali bertentangan dan tidak mencerminkan nilai-nilai agama. Sasaran utama dari proses letupan perasaan frustasi yang telah mencapai tingkat “tinggi” ini adalah kelompok-kelompok kekuatan yang bertanggung jawab atas ketertindasan harkat dan martabat hidup mereka yaitu perangkat pengausa pemerintahan mereka sendiri, dimana kelompok yang membantu kekuatan tirani komunitas mereka menjadi sasaran (Arifin, 1993).17

Terhadap munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang berekonomi kuat, penyakit mental yang berupa stres dan frustasi social itu menimbulkan sikap negative masyarakat yang lemah ekonominya, yaitu berupa kecemburuan sosial pada tahap awal perkembangannya, dan akan berlanjut kepada tahap ledakan sosial-politik yang tidak terkendali oleh kekuatan moral dan etik sebagai titik klimaksnya. Peristiwa tragis semacam ini akan dapat diredam, apabila sistem social-politik dalam masyarakat dapat direlisasikan dengan sebaik-baiknya berdasarkan keadilan sosial yang memberikan kesejahteraan dan kemakmuran merata dalam segenap lapisan masyarakat.

Kondisi tersebut, apabila dicermati secara seksama dapat mengakibatkan pendidikan dan pembelajaran agama tidak bisa berjalan secara optimal. Hal ini disebabkan perbedaan kepentingan social-politik individu atau kelompok, yang kepentingan itu dapat mengalahkan kepentingan yang lebih besar dalam menciptakan kehidupan yang damai dan aman, sehingga nilai-nilai agama terabaikan. Sebab lainnya adalah beragamnya etnis, rasial, dan keagamaan yang berakibat tidak dapat ditemukan dan dikembangngkan nilai-nilai agama yang universal, yang merupakan nilai bersama, kendati perbedaan latar belakang keagamaan atau perbedaan adapt-istiadat karena latar belakang rasial atau etnis. Ini bukan masalah yang mudah. Tetapi, pendidikan agama merupakan proses belajar terus menerus bagi semua orang dan semua golongan.

Pemikiran tersebut menunjukkan bahwa, perubahan kondisi social-politik yang dipicu oleh perkembanganilmu dan teknologi yang pesat, membawa serta perubahan dalam cara berfikir, cara menilai, cara menghargai hidup dan kenyataan. Ini semua membawa kekaburan nilai-nilai agama yang ada dan kekaburan dimensi nilai yang sebenarnya selalu ada dalam proses perkembangan dan perubahan masyarakat, serta dalam pribadi individu. Oleh karena itu, semua pihak yang terlibat dalam pendidikan, khususnya guru, bertanggungjawab untuk:

1). Melihat implikasi nilai-nilai agama dalam setiap proses perubahan terjadi.

2). Membantu untuk berkembangnya nilai-nilai agama dalam diri individu siswa.

3). Membantu agar siswa dapat mengambil sikap dan keputusan dalam merencanakan kehidupan secara bermakna.

Apabila semua pihak yang terlibat dalam pendidikan, khususnya pendidikan agama dapat melaksanakan ketiga tahapan tersebut, maka tidak mustahil akan memberikan hasil yang optimal. Tetapi sebaliknya, apabila tidak melaksanakannya, maka pendidikan agama tidak mustahil akan terhambat oleh euforia persoalan social-politik yang pada akhirnya dapat berakibat runtuhnya martabat bangsa.

  1. Hambatan Kultural

Akibat kemajuan bidang teknologi informasi, elektronika dan komunikasi, berbagai permasalahan di dunia ini menjadi meng-global. Globalisasi menjadikan bumi makin menyempit. Berbagai masalah local mampu membawa dampak men-dunia. Norma dan etika dunia makin cepat menyebar, sehingga terjadi akulturasi nilai. Akulturasi nilai mengakibatkan hilangnya identitas nilai-nilai universal, sehingga nilai yang menjadi acuan semakin kabur sumbernya.

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD “ Di samping, itu menurut Mudhzar (1992) globalisasi juga mengakibatkan berkembangnya mass culture, karena pengaruh mass media, sehingga kultue tidak lagi bersifat local, melainkan nasional, bahkan global. Ini akan berakibat meningkatnya heterogenitas nilai dalam masyarakat, sehingga nilai agama yang diyakini seseorang tidak lagi mampu mengklaim sebagi sumber kebenaran tunggal pada diri individu18. Selain nilai-nilai agama yang dipelukkya, individumerasa perlu melengkapi dirinya dengan nilai-nilai lain yang datang dari sekitarnya, baik dari kesepakatan politik, ekonomi, maupun budaya. Kehadiran sejumlah nilai dari sumber yang berbeda secara bersandingan ini akan menimbulkan beberapa persoalan, terutama dalam memilih nilai-nilai tersebut. Apakah nilai-nilai agama yang harus dimenangkan dan nilai-nilai yang lain dikesampingkan? Kondisi demikian sering menjadi persoalan yang serius.

Realitas ini sangat tidak menguntungkan dalam pendidikan agama. Karena nilai-nilai agama yang bersifat universal yang seharusnya menjadi prioritas untuk pedoman bertindak, kadang disandingkan dengan nilai-nilai lain yang bersifat local. Hal ini disebabkan orang tidak lagi melacak dari mana sumber nilai itu, tetapai yang penting adalah lebih cocok dan menguntungkan bagi dirinya, sehiingga tidak ada upaya pemilihan nilai.

Pemilihan nilai berarti menentukan suatu nilai sesudah mempertimbangkan semua akibat-akibat dari setiap alternative yang ada. Individu yang tidak mengetahui akibat suatu alternative, berarti pula tidak mengetahui akibat yang akan terjadi nantinya, dan dia tidak akan bebasmenerima akibatnya. Misalnya, seseorang menggunakan narkoba, yang katanya bagi mereka yang memakai dapat menghilangkan stres dan seakan melayang ke “surga”, ternyata resikonya secara moral dan material sangat tinggi, berupa pemborosan uang dan sakit fisik secara mental. Apabila dia berpegang pada nilai-nilai agama, yang jelas-jelas melarangnya, maka dia akan selamat dari bahaya itu.

Kerap kali memang akibat pilihan seorang individu tidak dapat diketahui sebelumnya, tetapi bukan berarti bahwa tidak ada pilihan bebas. Begitu orang memahami akibat-akibatnya, dia harus mengevaluasi kembali berdasarkan kerangka normatif agama. Namun kadang-kadang seseorang sadar bahwa itu perbuatan salah, tetapi tetap saja dia lakukan tanpa harus mengevaluasi bahwa perbuatan itu salah berdasarkan nilai-nilai agama. Akibatnya, setelah kesalahannya menumpuk dan resikonya semakin parah, dia baru sadar bahwa perbuatan itu salah.

Untuk itu sesuatu yang harus dilakukan adalah dengan menanamkan nilai-nilai agama secara mantap kepada siswa atau individu, agar dia terhindar dari berbagai godaan dan gangguan cultural yang tidak menguntungkan, dilihat dari aspek moral dan spiritual. Penanaman itu harus dapat mem-pribadi kepada siswa, artinya dia betul-betul “memikirkan tentang suatu nilai-nilai agama, tidak sekedar menanggapi suatu nilai-nilai agama”. Sebab diantara dua term ini mempunyai makna yang berbeda. Memikirkan suatu nilai agama berarti individu sudah mulai memikirkan untuk membentuk atau menyiapkan suatu nilai untuk dilaksanakan, sedang menanggapi suatu nilai-nilai agama hanyalah “menanggapi” kalau suatu nilai dibicarakan orang, atau terdapat dalam satu karang, atau dengan kat lain, nilai-nilai agama hanya sekedar sebagai wacana. Dalam hal ini individu yang hanya menyatakan persetujuannya pada sesuatu yang sudah ditulis, diucapkan orang, sebenarnya memang sudah menuju ke arah pembetukan nilai, tetapi masih pada ambang pintu yang jauh sekali untuk mewujudkan nilai itu sendiri.

Pendidikan agam,a pada dasarnya bukan merupakan sesuatu yang harus diwacanakan, tetapi lebih merupakan sesuatu yang normatif-dogmatif-pragmatis, sehingga secara given harus dilaksanakan. Untuk itu, nilai-nilai agama memang sudah seharusnya diterapkan dalam realitas sosial, tidak harus terhambat oleh berbagai tantangan dan hambatan kultural yang menghinggapi kehidupan kita.19

  1. Cara atau Kiat untuk mengembangkan Minat Belajar Agama Islam Anak

Adapun beberapa upaya Meningkatkan minat belajar diantaranya adalah sebagai berikut:

          1. Optimalisasi Penerapan Prinsip Belajar

Upaya pembelajaran terkait dengan beberapa prinsip belajar :

  1. Belajar menjadi bermakna bila siswa memahami tujuan belajar. Oleh karena itu guru perlu menjelaskan tujuan belajar secara hierarkis.

  2. Belajar menjadi bermakna bila siswa dihadapkan pada pemecahan masalah yang menantangnya. Oleh karena itu peletakan urutan masalah yang menantang harus disusun guru dengan baik.

  3. Belajar menjadi bermakna bila guru mampu memusatkan segala kemampuan mental siswa dalam program kegiatan tertentu.

  4. Sesuai dengan perkambangan jiwa siswa, maka kebutuhan bahan-bahan belajar siswa semakin bertambah.

  5. Belajar menjadi menantang bila siswa memahami prinsip penilaian dan faedah nilai belajarnya bagi kehidupan dikemudian hari.

    1. Optimalisasi Unsur Dinamis Belajar dan Pembelajaran

  1. Pemberian kesempatan pada siswa untuk mengungkap hambatan belajar yang dialaminya.

  2. Memelihara minat, kemauan, dan semangat belajarnya sehingga terwujud tindak belajar.

  3. Meminta kesempatan pada orang tua siswa atau wali, agar memberi kesempatan pada siswa untuk beraktualisasi diri dalam belajar.

  4. Memanfaatkan unsur-unsur lingkungan yang mendorong belajar.

  5. Menggunakan waktu secara tertib, penguat dan suasana gembira terpusat pada perilaku belajar.

  6. Guru merangsang siswa dengan penguatan pembari rasa percaya diri bahwa ia dapat mengatasi segala hambatan dan pasti berhasil.

  7. Optimalisasi Pemanfaatan Pengalaman dan Kemampuan Siswa

  8. Siswa ditugasi membaca bahan belajar sebelumnya, tiap membaca bahan belajar siswa mencatat hal-hal yang sukar dan diserahkan pada guru.

  9. Guru mempelajari hal-hal yang sukar bagi siswa.

  10. Guru memecahkan hal-hal yang sukar, dengan mencari cara memcahkan.

  11. Guru mengajarkan cara memecahkan dan mendidikkan keberanian mengatasi kesukaran.

  12. Guru mengajak serta siswa mengalami dan mengatasi kesukaran.

  13. Guru memberi kesempatan kepada siswa yang mampu memecahkan masalah untuk membantu rekan-rekannya yang mengalami kesukaran.

  14. Guru memberi penguatan para siswa yang berhasil mengatasi kesukaran belajarnya sendiri.

  15. Guru menghargai pengalaman dan kemampuan siswa agar belajar secara mandiri.

    1. Pengembangan Cita-cita dan aspirasi Belajar

  1. Guru menciptakan suasana belajar yang menggembirakan.

  2. Guru mengikutsertakan semua siswa untuk memelihara fasilitas belajar.

  3. Guru mengajak siswa untuk membuat perlombaan untuk belajar.

  4. Guru mengajak serta orang tua siswa untuk memperlengkap fasilitas belajar.

  5. Guru memberanikan siswa untuk mencatat keinginan-kainginan siswa yang tercapai dan tidak tercapai.

  6. Guru bekerja sama dengan pendidik lain, untuk mendidikkan dan mengembangkan cita-cita belajar sepanjang hayat.20








1 Djoko Witarko,Seri Panduan Rumah Belajar 1,Coca Cola Foundation Indonesia,Jakarta,2006,Hal.xi.

2putrabungsu-yahoo.blogspot.com/.../minat-siswa-belajar-pendidikan-agama_24.html - Tembolok - Mirip (Di kutip tanggal 26 Juli 2009)


3 http://www.sdm4sby.com/index.php

4 Ibid, hal. 41.

5 Joko Witarko,Loc Cit,.hal.55.

6 Drs.H. Nashar, M. Ag.,Loc.Cit,.hal.50.

7 Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM.,Manajeman Pembelajaran,Sukses Offset,Yogjakarta,2007,hal.35.

8 Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM,Ibid.,Hal.35.

9 Ibid.,Hal.36.

10 Ibid.,Hal.37.


11 http://www.luwzee.blog.friendster.com/.../tinjauan-tentang-minat-belajar-anak/

12 Drs. H. Mgs. Nazarudin, M.M., Op. Cit..,Hal.17.


13 Darmiyati Zuchdi, yang berjudul ,Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD,Bumi Aksara,Jakarta,2009,hal.49

14 Darmiyati Zuchdi,Ibid.,hal.53.

15 Ibid,hal.57.

16 Ibid,hal.60.

17 Ibid,hal.65.

18 Ibid,hal.67.

19 Ibid,hal.67.

20 Abdul Rahman Shaleh,Psikologi Suatu Pengantar Dalam Perspektif Islam,Prenada Media,Jakarta,2004,hal.128.

BAB II

RUMAH BELAJAR GANECHA DALAM MENINGKAT MINAT BELAJAR AGAMA ISLAM ANAK


        1. RUMAH BELAJAR

1. Pengertian Rumah Belajar

Rumah Belajar adalah perpustakaan yang juga tempat belajar kegiatan yang menyediakan informasi dari koleksi dan juga kegiatanya.1 Secara fisik rumah belajar ganecha adalah tempat seperti halnya perpustakaan. Pada fungsi lebih lanjut rumah belajar dapt saaja berwujud jariangan sistem informasi seperti perpuskaan elektronik. Tetapi lebih dari itu rumah belajar juga terwujud kegiatan. Rumah belajar ibarat perpustakaaan hidup yang menyediakan informasi tidak hanya dari koleksi dan sistem jaringan yang di bangaun tetapi juga dari semua pengguna dan terutama dari aktivitas layanan yang di ciptakan.

Jika pendidikan memanggil manusia mmenjadi pribadi insemanusiawi yang semanusia mungkiin maka runah belajar ganecha memanggil siapa saja,kapan saja dan mana saja. Untuk memberi arti baru dari kata belajar yang tidak saja memasukan berbagai infornasi kedalam diri(outside in) teapi juga menjadikan apa yang ada dalam diri keluar menjadi tutur kata sikap,perilaku,ketrampilan, keahlian.

      1. Jenis-jenis Bimbingan Belajar

Bimbingan belajar diberikan guru kepada peserta didik agar memiliki kemampuan optimal dalam mengembangkan seluruh potensi dirinya. Bimbimgan dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek kemampuan dan minat peserta didik.

  1. Penyelenggaraan bimbingan belajar dilakukan berdasarkan perencanaan yang matang. Perencanaan bimbingan seyogyanya

merupakan hasil sharing dengan seluruh komponen pendukung sekolah dan berdasarkan analisa kebutuhan pembelajaran.

  1. Perencanaan bimbingan belajar ditekankan kepada upaya membiasakan berperilaku terpuji, kretif, memahami dunia kerja dan mengembangkan kemampuan dasar, dan membuat perencanaan serta matang dalam mengambil keputusan.

c. .Perencanaan bimbingan belajar ditujukan kepada penyiapan peserta didik untuk melanjutkann pendidikan tinggi atau memasuki lapangan kerja. Perlu pula direncanakan bimbingan yang diberikan kepada peserta didik selama mengikuti pelaksanaan program perbaikan dalam rangka mencapai kemampuan dasar yang tercantum dalam kurikulum nasional.


        1. MINAT BELAJAR AGAMA ISLAM

              1. Pengertian Minat Belajar Agama Islam

Minat dalam pengertian umum adalah “Sesuatu yang menimbulkan perhatian yang kuat Maksudnya segala sesuatu hal yang menimbulkan keinginan dan perhatian yang kuat dikatakan dengan minat atau kemauan. Minat terhadap sesuatu hal akan timbul apabila seseorang menaruh perhatian terhadap obyek itu. Perhatian ini dapat terjadi dengan sendirinya maupun karena pengaruh dari luar, terutama dari lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.Untuk membangkitkan minat ini diperlukan beberapa syarat, seperti: obyek itu harus menarik perhatian, baik karena warna yang kontras, bunyi, atau gerakannya. Di sekolah, seorang guru perlu menggunakan alat peraga atau model untuk menarik perhatian murid. Ini sekaligus untuk mengurangi proses abstraksi yang masih sulit bagi anak.2



Menumbuhkan minat belajar anak membutuhkan proses yang tidak instan. Pertama menumbuhkan terlebih dahulu rasa butuh akan manfaat suatu pelajaran. Misalnya ketika orangtua berharap anak memiliki kesadaran belajar Agama. Sebelum ditanya PR, perlu sesekali tanyakan ”adakah yang menarik di kelas...? siapa teman yang kamu sukai dan tidak sukai...? kenapa kamu menyukai atau tidak menyukai...? apa yang kamu lakukan pada mereka ? ada gak pelajaran yang membahas kerukunan? ”. Menurut kamu apa manfaatnya setelah belajar kerukunan ?.”

Kedua menjadikan anak sebagai partner belajar. Tidak selamanya orangtua harus selalu tampak pintar, adakalanya perlu sesekali kelihatan bodoh dan tidak tahu untuk memancing penjelasan anak. Hal ini bisa mendorong anak untuk lebih percaya diri dan mencari sebanyak mungkin informasi baik dari guru, buku bacaan maupun media elektronik yang tersedia.

Ketiga, Kunjungan edukasi keluarga. Tidak harus mahal dan menggunakan perijinan yang rumit.. Sesekali ajak anak ke pasar tradisional untuk melalukan transaksi jual beli. Karena selama ini jika ke Mall, belanja menjadi sangat individualis tanpa ada transaksi yang melibatkan emosi dan sosialisai. Datangkan langsung ke sumber-sumber kehidupan sehari-hari.misalnya peternakan sapi, kemudian dilanjutkan ke pabrik pembutan susu. Dia belajar proses proses produksi – distribusi sampai konsumsi. Dorong anak tidak selamanya menjadi konsumen tetapi perlu menjadi produsen. Hal ini akan mengurangi gaya hidup konsumtif dan meningkatkan nilai produktivitas SDM yang akan datang. . Misalnya membuat kertas daur ulang atau menyediakan bibit tanaman buah-buahan.

Keempat, menjadikan anak sebagai pelopor. Seringkali memulai kebaikan memang tidak mudah. Misalnya dalam global warming, di sekolah mereka sudah belajar teorinya. Tapi bagaimana anak juga juga menyelaraskan teori dengan aksi. Maka latihlah menjadi anak yang ”beda’. Jika kebanyakan anak berangkat diantar mobil, sepeda motor atau mobil angkutan. Maka latihlah sesekali menggunakan sepeda atau dengan jalan kaki jika jaraknya dekat. Selain sehat juga mengurangi polusi udara yang menimbulkan efek rumah kaca. Tidak hanya sendiri tapi orangtuapun memulai gerakan yang sama.

Keempat tahap diatas membutuhkan kerja sama serta komunikasi yang intensif antara sekolah dan rumah (orangtua). Keduanya memiliki hubungan yang komplementer (saling melengkapi) bukan saling menggantungkan. Guru atau sekolah tidak hanya menjadikan orang tua atau rumah sebagai kambing hitam ketidakmampuan dan kemalasan anak dalam belajar begitupun orangtua tidak menggantungngkan 100 % tercapainya tujuan pendidikan lewat sekolah3

Suatu minat dapat berkembang seiring dengan kebiasaan yang sering dilakuka, dimana kebiasaan dapat diartikan suatu sikap atau kegiatan yang bermanfaat fisik atau mental yang telah mendarah daging atau membudidaya dalam diri seseorang.4 Minat dan motifasi sangat menentukan terbentuknya suatu kebiasaan,akan tetapi memang memerlukan waktu yang lama.

Belajar merupakan perubahan tingkah laku, perubahan itu mangarah pada tingakah laku yang baik, yang terjadi melalui latihan atau pengalaman.5

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Drs.H. Nashar, M. Ag yang berjudul “Peranan Motivasi dan Kemampuan Awal dalam Kegiatan pembelajaran”,Kohman Abror berpendapt bahwa belajar yaitu: (1) menimbulkan perubahan yanga relatif tetap. (2) perubahan itu membedakan antara keadaan sebelum individu berada dalam situasi belajar dan sesudah diberlakukan belajar. (3) perubahan itu dilakukan lewat kegiatan, usaha atau praktek yang disengaja atau yang diperkuat.6

Agama Islam merupakan suatu sistem aqidah dan syariah serta akhlak yang mengatur hidup dan kehidupan dalam berbagai hubungan. Ruang lingkupnya lebih luas dari ruang lingkup agama nasrani yang hanya mengatur hubungan manusia dan Tuhan. Agama Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia denagan manusia dalam masyarakat termasuk dengan diri manusia itu sendiri tetapi juga dengan alam sekitarnya yang kini terkenal dengan lingkungan Islam.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat penulis simpulkan bahwa minat belajar agama islam adalah kemauan untuk merubah tingkah laku sesuai sistem aqidah serta ahlak yang mengatur hidup dan kehidupan dalam berbagai hubungan.

              1. Teori-teori Belajar Agama Islam Anak.

Ada beberapa strategi pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru Pendidikan Agama Islam dalam rangka mewujudkan proses pembelajaran yang actual seperti dimaksud, yaitu:

  1. Terpusat Pada Guru

Strategi pembelajaran yang terpusat pada guru adalah pembelajaran yang menempatkan guru sebagai pemberi informasi, Pembina dan pengarah satu-satunya dalam proses belajar mengajar. Model didasarkan pada konsep mengajar yang bersifat rasionalitas akademis yang menekankan segi pemberian pengetahuan semata-mata, dengan tidak melihat bahwa pengajaran juga harus mengandung maksud pembinaan dan pengembangan terhadap berbagai potensi yang dimiliki para siswa.

Sebagai akibat dari konsep mengajar yang demikian itu, maka seorang guru yang mengajar mencakupkan dirinya pada penguasaan bahan pelajaran semata-mata, tanpa harus mengetahui nilai-nila,I apa saja yang dapat disentuh oleh materi pelajaran yang akan diberikan kepada siswanya. Dalam keadaan yang demikian, yang terjadi pengajaran dan bukan pendidikan. Dari pengajaran yang demikian itu, dapat dihasilkan siswa-siswa yang cukup luas pengetahuannya, tetapi tidak cukup mantap kepribadiannya, dan kalau hal ini sempat terjadi, maka kita menghadapi situasi yang cukup gawat.

Akibat lanjut dari sistem pengajaran ini, akan mudah bagi seorang guru untuk terjebak kedalam perbuatan pamer pengetahuan, ketika ia berdiri di depan kelas. Ia sibuk sekali didepan kelas, tetapi tidak mendidik, tidak pula mengajar, tetapi asyik membeberkan pengetahuan yang dimilikimya dan asyik menikmati kekagumanyang diperlihatkan siswa-siswanya.

Selanjutnya, jika pamer pengetahuan tersebut terjadi tanpa sengaja, dan dampak yang ditimbulkannya hanya kekaguman siswa, maka hal yang demikian masih dapat dinilai wajar. Akan tetapi, apabila pamer pengetahuan ini sudah merupakan suatu perbuatan yang disengaja, secara pedagogis yang dihadapi adalah situasi yang tidak etis. Yang dijumpai dalam hal ini ialah guru yang menyalahgunakan kelemahan-kelemahan para siswa : kekurangan pengetahuan mereka, keterbatasan pengalaman hidup mereka dan ketidakberdayaan mereka dalam menghadap gurunya. Dampak yang akan timbul dari keadaan tersebut bukan kekaguman lagi kepada guru, melainkan kebingungan siswa tentang pelajaran yang diterima dan ketakutan siswa terhadap diri sang guru. Ironisnya adalah bahwa dalam masyarakat kita masih ada sekelompok guru atau dosen yang justru menikmati ketakutan dan kebingungan para siswa atau mahasiswanya. Jika keadaan ini sudah terjadi dengan sengaja, masalahnya bukan karena kesalahan pedagogis melainkan sikap tidak etis dan dosa pedagogis.

Model pengajaran yang demikian itu banyak terjadi pada Negara-negara berkembang, dan lebih khusus lagi pada masyarakat pedesaan yang belum tersentuh perkembangan dibidang informasi. Kita misalnya melihat bahwa dipedesaan masih terbatas sarana informasi yang memuat ilmu pengetahuan danb teknologi, seperti buku, majalah, surat kabar, dan sebagainya. Dalam keadaan yang demikian, sumber informasi sepenuhnya berada ditangan guru. Gurulah satu-satunya sumber informasi, dimana para siswa dan masyarakat sekitarnya amat bergantung kepadanya. Keadaan ini berbeda dengan masyarakat yang sudah maju seperti di perkotaaan dimana sumber informasi sudah banyak dkijumpai.

  1. Terpusat Pada Siswa.

Seiring dengan kemajuan yang terjadi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, konsep pembelajaran pun mengalami perubahan, yaitu dari yang semula berpusat pada guru, menjadi lebih berpusat pada siswa. Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM., yang berjudul “Manajeman Pembelajaran” Chauhan berpendapat bahwa Dalam hubungan ini, seorang pakar pendidikan mengatakan bahwa mengajar adalah “upaya dalam memberikan perangsang (stimulasi), bimbingan dan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar” (Chauhan, 1979:46).7 Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM., yang berjudul “Manajeman Pembelajaran” Burton berpendapat bahwa Pandangan ini sejalan dengan pendapat Gagne dan Briggs yang mengatakan bahwa is a set of events which affect learness in such way that learning is facilitated. Yaitu menciptakan berbagai peluang yang berpengaruh terhadap proses belajar yang dengan sendirinya tercipta berbagai kebutuhan belajar “(Burton, 1944:72).8 Dengan demikian dalam mengajar yang penting bukan upaya guru menyampaikan bahan, melainkan bagaimana siswa dapat mempelajari bahan sesuai dengan tujuan. Dalam hal ini upaya penting yang harus dilakukan adalah menciptakan serangkaian peristiwa yang dapat mempengaruhi siswa belajar. Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM., yang berjudul “Manajeman Pembelajaran” Burton berpendapat bahwa “Peran guru mengalami pergeseran dari yang semula sebagai satu-satunya pemberi informasi, menjadi sebagai orang yang bertindak sebagai direcror and facilitator of learning, yakni pengarah dan pemberi fasilitas untuk terjadinya proses belajar. Sejalan dengan ini harus diakui akan kebenaran pernyataan bahwa pengajaran itu pada hakekatnya adalah suatu proses yang mengandung makna, bukan semata-mata proses yang mekanis”(Burton, 1944:72).9

Konsep belajar tersebut mengisyaratkan pentingnya siswa sebagai faktor dominant dalam merencanakan kegiatan belajar mengajar. Hal ini sebagai kebalikan dari metode pembelajaran yang terpusat pada guru sebagaimana disebutkan diatas.

  1. Terpusat Pada Guru dan Siswa.

Jika pada strategi pertama kegiatan belajar mengajar didominasi oleh guru, dan strategi, dan strategi yang kedua kegiatan belajar mengajar oleh siswa, maka pada strategi yang ketiga kegiatan belajar mengajar tidak terpusat pada salah satu dari keduanya, tetapi terjadi interaksi antara guru dan siswa secara bersama-sama. Dalam kaitan ini belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbale balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan timbale balik antara guru dan siswa tersebut merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar mengajar. Interaksi dalam peristiwa belajar mengajar mempunyai arti yang lebih luas, yaitu tidak hanya sekedar hubungan antara guru dengan siswa, tetapi berupa interaksi edukatif. Dalam hubungan ini tugas seorang guru bukan hanya menyampaikan pesan berupa materi pelajaran, melainkan pemahaman sikap dan nilai pada diri siswa yang sedang belajar.

Sejalan dengan uraian tersebut maka proses belajar mengajar mempunyai makna dan pengertian yang lebih luas daripada pengertian mengajar dalam arti memberikan bekal pengetahuan semata-mata. Dalam proses belajar mengajar, tersirat adanya satu kesatuan kegiatan yang tak terpisahkan antara siswa yang belajar dengan guru yang mengajar. Antara dua kegiatan ini terjalin interaksi yang saling menunjang.

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM., yang berjudul “Manajeman Pembelajaran” Burton berpendapat bahwa “Peranan guru yang terpenting adalah menciptakan serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan, dan dilakukan dalam situasi tertentu, serta berhubungan dengan kemajuan dalam bidang perubahan tingkah laku dan perkembangan siswa yang menjadi tujuannya”(Burton, 1944:56).10

Dengan demikian dalam proses interaksi belajar mengajar itu target yang ingin dicapai bukan hanya pengajaran, melainkan juga pendidikan secara sekaligus. Untuk itu seorang guru harus tahu nilai-nilai apa yang dapat disentuh oleh materi pelajaran yang akan diberikan kepada siswanya. Guru harus tahu sifat-sifat kepribadian apa yang dapat dirangsang pertumbuhannya melalui materi pelajaran yang akan disajikan. Misalnya dapatkah suatu gugus materi pelajaran matematika dipergunakan untuk merangsang pertumbuhan nilai-nilai kejujuran, ketelitian, dan keuletan kerja pada diri para siswa.

Pertanyaan semacam itulah yang seharusnya dipikirkan oleh seorang guru yang ingin meningkatkan perbuatan mengajar yang dilakukannya menjadi perbuatan mendidik. Ini bukan suatu hal yang mudah. Inilah sebabnya mengapa banyak guru yang tidak selalu berhasil meningkatkan diri mereka menjadi pendidik. Mereka terpaku pada aspek-aspek pengajaran dalam m,elaksanakan tugas mereka sehari-hari. Ini tidak berarti pula bahwa pekerjaan mengajar itu mudah. Untuk mengajar dengan baik, diperlukan sikap tertentu, yaitu sikap gemar mencari pengetahuan baru dan senang berbagi pengetahuan dengan orang lain. Orang yang sudah merasa puas dengan pengetahuan yang telah dimilikinya tidak akan dapat menjadi pengajar yang baik.

Disamping masalah sikap ini, diperlukan pula ketrampilan dan kemampuan tertentu untuk mejadi pengajar yang baik. Antara lain ketrampilan untuk menyajikan suatu bahan pelajaran secara sistematik, kemampuan untuk memahami dan menyelami alam pikiran para siswa, dan kemampuan untuk meramu bahan pelajaran, sehingga tersusun suatu program pelajaran yang relecan dengan realitas yang terdapat dalam kehidupan para siswa. Memupuk sikap, ketrampilan serta kemampuan seperti ini memerlukan iktiar dan waktu.

  1. Strategi mana yang harus digunakan

Ketiga macam strategi pembelajaran sebagaimana disebutkan diatas dapat digunakan sesuai dengan lingkungan sosial dimana kegiatan pengajaran itu dilakukan. Bagi masyarakat agraris yang serba kurang informasi kecenderungan untuk menerapkan model pembelajaran yang terpusat pada guru tampak cukup dominant, sebagaimana hal yang demikian itu masih dapat dijumpai pada berbagai daerah dipedesaan di Indonesia. Selanjutnya, bagi masyarakat modern yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dengan pola hidup yang cenderung liberal, tampaknya metode pembelajaran yang memusat pada murid cukup dominant. Mata pelajaran atau program studi yang akan dipelajari ditentukan oleh kemauan dan pesanan para murid. Sementara pada masyarakat yang masih dalam keadaan transisi antara dua kebudayaan tersebut, yaitu antara kebudayaan agraris dan kebudayaan modern, pembelajaran yang memadukan antara kehendak guru dan murid tampaknya merupakan alternative yang pas.

Selanjutnya, perlu dicatat bahwa penentuan pilihan pada salah satu strategi pembelajaran tersebut, selain berimplikasi pada konsep belajar mengajar sebagaimana disebutkan diatas, juga akan memberikan implikasi pada seluruh aspek pendidikan, mulai dari perumusan tujuan pendidikan, kurikulum, materi pendidikan, metode dan pendekatan, sarana prasarana, lingkungan pendidikan, evaluasi dan sebagainya.

Pada strategi pembelajaran yang memusat pada guru misalnya, seluruh aspek pendidikan tersebut ditentukan oleh guru. Dengan demikian, gurulah yang menetukan tujuan pendidikan yang ingin dicapai; kurikulum atau mata-mata kuliah yang akan diberikan; materi pelajaran yang diajarkan; metode dan pendekatan dalam mengajar yang akan digunakan; sarana prasarana yang akan diperlukan; lingkungan pendidikan yang dibutuhkan serta model evaluasi yang ingin ditempuh. Dalam keadaan demikian murud tidak dijadikan factor dalam merumuskan metode pembelajaran yang akan diterapkan, tetapi hanya dijadikan objek atau sasaran dari kehendak guru. Beruntung jika segala sesuatu yang dirancang oleh guru itu merupakan halhal yang akan mendatangkan manfaat bagi murid. Namun, alangkah ruginya para murid jika apa yang didapatnya dari pengajaran yang diberikan guru itu adalah sesuatu yang tidak lagi diperlukan oleh masyarakat. Dalam keadaan yang demikian, guru atau lembaga pendidikan harus bertanggung jawab atas nasib kehidupan para lulusannya; karena guru atau lembaga pendidikan tersebut telah menghasilkan lulusan yang bermasalah. Implikasi dari metode pembelajaran yang berpusat pada guru atau lembaga pendidikan semacam ini masih banyak dijumpai pada masyarakat Indonesia, khususnya di pedesaan mengngingat para siswa atau masyarakat berada dalam posisi yang lemah dalam menentukan atau ikut serta merancang pendidikan yang diberikan kepadanya.

Untuk melengkapi pengertian mengenai makna belajar, perlu kiranya dikemukakan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan belajar siswa. dalam hal ini ada beberapa prinsip yang penting untuk diketahui, antara lain :

  1. Belajar pada hakekatnya menyangkut potensi manusiawi dan kelakuannya.

  2. Belajar memerlukan proses dan pemantapan serta kematangan diri siswa.

  3. Belajar akan lebih mantap dan efektif, bila didorong dengan motivasi, terutama motivasi dari dalam atas dasar kebutuhan atau kesadaran (instrinsic motivation), lain halnya belajar dengan karena rasa takut atau dibarengi dengan rasa tertekan dan menderita.

  4. Dalam banyak hal belajar itu merupakan proses percobaan (dengan kemungkinan berbuat keliru) dan conditioning atau pembiasan.

  5. Kemambuan belajar seseorang siswa harus diperhitungkan dalam rangka menentukan isi pelajaran.

  6. Belajar dapat melakukan tiga cara :

  1. Diajar secara langsung.

  2. Kontrol, kontak, penghayatan, pengalaman langsung (seperti anak belajar bicara, sopan santun, dan lain-lain)

  3. Pengenalan dan/atau peniruan.

  1. Belajar melalui praktek atau mengalami secara langsung aakn lebih efektif mampu membina sikap, keterampilan, cara berfikir kritis dan lain-lain, bila dibandingkan dengan belajar hafalan saja.

  2. Perkembangan pengalaman anak didik akan banyak mempengaruhi kemampuan belajar yang bersangkutan.

  3. Bahan pelajaran yang bermakna atau berarti, lebih mudah dan menarik untuk dipelajari, daripada bahan yang kurang bermakna.

  4. Informasi tentang kelakuan baik, pengetahun, kesalahan serta keberhasilan siswa, banyak membantu kelancaran dan gairah belajar.

  5. Belajar sedapat mungkin diubah ke dalam bentuk aneka ragam tugas, sehingga anak-anak melakukan dialog dalam dirinya atau mengalaminya sendiri.11

              1. Tujuan Belajar Agama Islam dan fungsi belajar Pendidikan Agama Islam

Pendidikan Agama Islam bertujuan memberi bekal kemampuan dasar keadaan peserta didik meliputi:

    1. Memiliki dasar keimanan yang mantap

    2. Mengetahui ketentuan dasar beribadah.

    3. Gemar membaca dan menulis huruf Al-Quran.

    4. Melaksanakan puasa, infak dan sedekah

    5. Bertatakrama dan berperilaku terpuji

    6. Menghayati nilai-nilai keteladanan para rosul dan sahabat.

Pendidikan Agama Islam, baik sebagai penanaman keimanan dan seterusnya maupun sebagai materi (bahan ajar) memiliki fungsi yang jelas.Fungsi Pendidikan Agama Islam adalah sebagai berikut :

    1. Pengembangan; yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Pada dasarnya dan pertama- tama menanamkan kuwajiban menanamkan keimanan dan ketaqwaan dilingkungan oleh setiap orang tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuhkembangkan lebih lanjut dalam diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan ketaqwaan tersebut dapat berkembangan secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.

    2. Penyaluran; yaitu untuk mernyalurkan peserta didik yang memiliki bakat khusus dibidang agama agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal sehingga dapat dimangfaatkan untuk dirinya sendiri dan dapat pula bermanfaat untuk orang lain.

    3. Perbaikan; yaitu untuk memperbaikai kesalahan- kesalahan, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan dalam keyakinan,pemahaman dan pengamalan ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari.

    4. Pencegahan; Yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari lingkungan peserta didik atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dan menghambat perkembangan dirinya menuju manusia Indonesia seutuhnya.

    5. Penyesuaian; yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik linkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran Islam.

    6. Sumber nilai; yaitu memberikan pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

    7. Pengajaran; yaitu untuk menyampaikan pengetahuan keagamaan yang fungsional.12

  1. Faktor Penghambat Minat Belajar Agama Islam

Tantangan dunia pendidikan pada umumnya bukanlah permasalahan yang berdiri sendiri, tetapi terkait baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perkembangan iptek dan aspek kehidupan yang lain, baik ekonomi, politik, maupun social budaya. Berbagai tantangan yang dihadapai dunia pendidikan pada umumnya juga harus dihadapi oleh pendidikan agama sebagai bagian dari pendidikan bangsa. Kalau dunia pendidikan di Indonesiaproses memerlukan berbagai inovasi agar tetap berfungsi optimal ditengah arus perubahan, maka pendidikan agama juga memerlukan berbagai upaya inovasi agar eksistensinya tetap bermakna bagi kehidupan bangsa.

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa, hambatan pendidikan agama yang begitu kompleks pada dasarnya dapat dikelompokkan kedalam dua macam, yaitu hambatan internal dan eksternal. Hambatan internal menyangkut sisi pendidikan agama sebagai program pendidikan baik dari segi pemahaman terhadap materi Pendidikan Agama Islam, perancangan, maupun pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan agama Islam itu sendiri. Hambatan eksternal berupa hubungan kemajuan iptek, era globalisasi dibidang informasi, perubahan sosial ekonomi dan budaya dengan segala dampaknya. Problem yang merupakan konsekuensi logis dari perkembangan iptek yang menuju proses globalisasi dan derasnya arus informasi, menyebabkan permasalahan yang sangat kompleks, tidak terkecuali pendidikan agama. Sebab proses ini nyatanya lebih mementingkan materi dan mengesampingkan agama.

Berbagai macam tantangan Pendidikan Agama Islam tersebut sebenarnya dihadapi oleh semua pihak, baik keluarga, pemerintah , maupun masyarakat, baik yang terkait langsung ataupun tidak langsung dengan kegiatan pendidikan agama Islam. Namun demikian, guru Pendidikan Agama Islam di sekolah yang terkait langsung dengan pelaksanaan pendidikan Islam dituntut untuk mampu menjawab dan mengantisipasi berbagai tantangan tersebut. Untuk mkengantisipasinya, diperlukan adanya profil guru Pendidikan Agama Islam di sekolah yang mampu menampilkan sosok kualitas personal atau professional dalam menjalankan tugasnya. Dengan ini diharapkan performance dia dalam membelajarkan pendidikan agama Islam betul-betul dapat dipertanggung jawabkan, baik secara intelektual, moral, maupun spiritual, sehingga kepribadian dia dapat menjadi kurikulum tersembunyi bagi siswa.

  1. Tantangan Internal

Sebagaimana uraian terdahulu, bahwa selama ini terdapat berbagai kritik dan sekaligus solusi terhadap pelaksanaan pendidikan agama yang sedang berlangsung di sekolah. Secara konseptual-teoritis, kritik dan solusi tesebut telah dijadikan pertimbangan dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama di sekolah. Untuk itu, dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK) salah satu rekomendasinya dinyatakan bahwa, pendidikan agama harus dilaksanakan secara terpadu, yakni keterpaduan pembinaan antara tiga lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, serta keterpaduan antara pendidikan agama dengan perkembangan iptek. Karena itu, pelaksanaan Pendidikan Agama Islam disekolah harus mampu memenuhi tuntutan tersebut. Di samping itu, Andi Rasdinah mengemukakan beberapa kelemahan lainnya dari pendidikan agama islam di sekolah, bik dalam pemahaman materi Pendidikan agama Islam maupun dalam pelaksanaannya, yaitu:

1). Dalam bidang teologi, ada kecenderungan mengarah kepada faham fatalistik.

2). Bidang akhlak berorientasi pada urusan sopan santun dan belum difahami sebagai ikeseluruhan pribadi manusia beragama.

3). Bidang ibadah diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan kepribadian.

4). Dalam bidang hukum (fiqih) cenderung dipelajari sebagai tata aturan yang tidak akan berubah sepanjang masa, dan kurang memahami dinamika dan jiwa hukum Islam.

5). Agama Islam cenderung diajarkan sebagai dogma dan kurang mengembangkan rasionalitas serta kecintaan pada ilmu pengetahuan.

6). Orientasi mempelajari Al-Quran masih cenderung kepada kemampuan membaca teks, belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna.

Towaf juga mengamati adanya kelemahan-kelemahan Pendidikan Agama Islam di sekolah, antara lain:

1). Pendekatan masih cenderung normative, dalam arti pendidikan agama menyajikan norma-norma yang sering kali tanpa ilustrasi konteks social budaya, sehingga siswa kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian.

2). Kurikulum pendidikan agama Islam yang dirancang disekolah sebenarnya lebih menawarkan minimum kompetensi atau minimum informasi, tetapi pihak guru Pendidikan Agama Islam seringkali terpaku padanya, sehingga semangat untuk memperkaya kurikulum dengan pengalaman belajar yang bervariasi kurang tumbuh.

3). Sebagai dampak yang menyertai situasi diatas, maka guru Pendidikan Agama Islam kurang berupaya menggali berbagi metode yang mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agama, sehingga pelaksanaan pembelajaran cenderung monoton.

4). Keterbatasan sarana atau prasarana, sehingga pengelolaan cenderung seadanya. Pendidikan agama yang diklaim sebagai aspek yang penting seringkali kurang diberi prioritas dalam urusan fasilitas.

Tantangan Pendidikan Agama Islam juga terkait dengan tantangan dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya, terutama dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia itu, yaitu:

1). Era kompetitif yang disebabkan oleh meningkatnya standar dunia kerja.

2). Jika kualitas pendidikan menurun, maka kualitas sumber daya manusia juga menurun dan lemah pula dalam hal keimanan dan ketaqwaan serta penguasaan iptek.

3). Kemajuan teknologi informasi menyebabkan banjirnya informasi yang tidak terakses dengan baik oleh para guru dan pada gilirannya berpengaruh pada hasil pendidikan.

4). Dunia pendidikan tertinggal dalam hal metodologi.

5). Kesenjangan antara kualitas pendidikan dengan kenyataan empiric perkembangan masyarakat.

b. Tantangan Eksternal (global)

Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa awal perkembangan sains modern (sekitar abad 16/17 M) pernah terjadi perpecahan antara kaum agamawan dan ilmuan, yang ditandai dengan sikap keras kaum agamawan Eropa (penganut geosentris) kepada penganut faham heliosentris, seperti Copernicus, Bruno, Kepler, Galileo, dan lain-lainnya. Metodologi yang dikembangkan oleh mereka mengandalkan kemampuan inderawi (empiris), sehingga kajian-kajian keagamaan yang bersifat non-inderawi dianggap tidak ilmiah.

Pengalaman sejarah juga menunjukkan bahwa di Negara yang sudah memasuki era industri, dimana masyarakatnya sangat mendambakan rasionalitas , efisiensi, teknikalitas, individualitas, mekanistis, materialistis, ternyata semua yang berbau sacred (suci) nyaris tidak mendapat tempat pada masyarakat itu. Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD” Ellul (1964) telah mengidentifikasi lima alasan sosiologis berdasarkan tradsi Nasrani, tentang mengapa orang semakin sedikit dan ogah dalam menjalankan nilai-nilai agama. Kelima alas an itu adalah:

1). Sekularisasi.

2). Iklim penalaran dan skeptisisme.

3). Ketidakpraktisan sembahyang.

4). Kerancuan sembahyang dan moralitas.

5). Keterbatasan bahasa atau berberlit-belitnya bahasa sembahyang.13

Namun demikian, kalau kita mengamati fenomena yang terjadi pada akhir abad 20 (di mana kemajuan iptek sudah begitu maju pesat), ternyata justru terhjadi sebaliknya. Dalam arti terjadi hubungan yang harmonis antara ilmuan dan agamawan. Temuan-temuan dalam bidang iptek yang kasat mata membuat ilmuan percaya pada banyak hal yang tidak terjangkau oleh indera. Hal ini muncul terutama ketika disadari bahwa isi dalam alam semesta ini terdiri atas atom-atom yang dapat diteliti lagi menjadi sub-sub atom. Karena itu, para ilmuan terperangah bahwa banyak hal yang harus dipercaya “ada”nya tanpa harus ditangkap oleh indera, termasuk electron, cahaya, gelombang radio, dan sebagainya. Di Indonesia, perpecahan antara ilmuan dan agamawan ternyata tak tercatat dalam sejarah perkembangan iptek, mlahan himbauan agar ilmuan dan agamawan saling mendukung sangat terdengar gemanya di Indonesia. Misalnya Baiquni mengatakan bahwa iptek terus menerus memerlukan bantuan agama; dan Mangunwajiwa juga mengajak kita untuk menarik hikmah dari Galileo-Galilei.

Munculnya ICMI juga merupakan kasus yang menarik untuk mengharmonoskan hubungan antara ilmuan dan agamawan. Oleh karena itu, pengalaman sejarah dari Negara industri tersebut setidak-tidaknya akan sulit muncul di Indonesia, bilamana benar-benar tercipta keserasian antara ilmu pengetahuan dan agama.

Dalam arti keyakinan beragama (sebagai hasil dari pendidikan agama) diharapkan mampu memperkuat upaya penguasaan dan pengembangan iptek, dan sebaliknya pengembangan iptek memperkuat keyakinan beragama. Ilmu pengetahuan berbicara know what dan know why, dan teknologi berbicara know how. Sedangkan agamalah yang bisa menuntun manusia untuk memilih mana yang patut, bis, benar dan baik dikembangkan dan dijalankan. Di sinilah letak peranan pendidikan agama (Islam) dan sekaligus pendidiknya (Guru Pendidikan Agama Islam di sekolah) dalam mengantisipasi perkembangan kemajuan iptek. Dalam arti, mampukah guru Pendidikan Agama Islam menegakkan landasan, yang menjadi tiang utama ajaran agama, tatkala domonasi temuan iptek sudah demikian hebat dan menguasai segala perbuatan dan pikiran umat mausia.

Temuan iptek telah menyebarkan hasil yang membawa kemajuan, dan dampaknya terasa bagi kehidupan seluruh umat manusia. Semua hasil temuan Iptek disatu sisi harus di akui telah secara nyata mempengaruhi bahkan memperbaiki taraf dan mutu hidup manusia. Di sisi lain produk temuan dan kemajuan iptek itu telah mempengaruhi bangunan kebudayaan dan gaya hidup manusia.

Dalam era kemajuan iptek ini perubahan global semakin cepat terjadi dengan adanya kemajuan-kemajuan dari Negara maju di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Kemajuan iptek ini mendorong semakin lajunya proses globalisasi. Teknologi komputer misalnya, membanjiri setiap negara, bangsa dan budaya tanpa mengenal batas bangsa, negara dan budaya. Faksimili adalah teknologicetak jarak jauh yang dapat mengirimkan pesan untuk sispapun, di manapun, Negara manapun, dan bangsa apapun, serta bisnis dan institusi apapun. Faksimili adalah teknologi global yang membantu terciptanya globalisasi dalam pengiriman pesan dalam waktu yang cepat dan akurat. Televisi dengan antenna parabola merupakan media global yang mendorong terciptanya globalisasi penyiaran berita, budaya dan sebagainya secara interansional yang tidak mengenal batas ruang dan waktu.

Kenyataan semacam itu akan mempengaruhi nilai, sikap dan tingkah laku kehidupan individu dan masyarakatnya. Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD “Hasil studi yang dilakukan oleh Inkeles dan Smith (1974) dalam Muhaimin (1999) “di enam Negara sedang berkembang (Argentina, Bangladesh, Chili, India, Israel dan Nigeria) serta pernyataan Naissbit dan Aburdene dalam Megatrends 2000, sebagaimana dikemukakan terdahulu menunjukkan bahwa ada beberapa nilai, sikap dan tingkah laku individu dan masyarakat modern yang kongruen (sejalan) dengan ajaran Islam sekaligus tidak mendukung keberhasilan pembangunan. Ada pula nilai dan sikap modernitas yang tidak kongruen (berlawanan) dengan ajaran agama Islam sekaligus tidak mendukung keberhasilan pembangunan. Misalnya: lemahnya keyakinan keagamaan, sikap individualistis, materialistis, hedonistis dan sebagainya. Nilai-nilai dan sikap yang negatif itu akan muncul bersamaan dengan nilai dan sikap positif lainnya, yang sudah barang tentu merupakan ancaman bagi terwujudnya cita-cita pembangunan bangsa. Karena itu masalah yang perlu segera mendapat jawaban, terutama dari guru Pendidikan Agama Islam adalah “mampukah” kegiatan pendidikan agama (Islam) itu berdialog dan berinteraksi dengan perkembangan zaman modern yang ditandai dengan kemajuan iptek dan informasi, dan mampukah mengatasi dampak negatif dari kemajuan tersebut.”14

c. Hambatan Psikologis

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD “ Menurut Arifin (1993) kemajuan iptek yang amat mengandalkan kecerdasan rasio, sampai batas-batas tertentu dapat mengoreksi benteng-benteng nilai agama. Berbagi akibat yang muncul kepermukaan antara lain ialah nilai-nilai kehidupan umat manusia lebih banyak didasarkan pada nilai kegunaan, kelimpahan hidup materialistic, sekularistik, dan hdonistik yang menafikan nilai-nilai etika-religius, moralitas dan humanistis.15

Akibat dari hal tersebut, muncullah berbagai ragam gejala demokrasi, dekadensi, egoisme dan individualisme serta apatisme yang bersumber pada frustasi yang semakin membengkak, juga stress-sosial (ketegangan batin masyarakat) yang semakin menumpuk menumpuk dalam lapisan jiwa bawah sadar yang sewaktu-waktu dapat meletup dan meledak kepermukaan kehidupan masyarakat. Apalagi jika kekuatan atau daya pengendali mental-psikologis mereka tidak dapat bekerja dengan baik dalam setiap kelompok masyarakat itu.

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD “ Arifin mengatakan bahwa bila dilihat dari segi psikologis merupakan akibat terjangkitnya benih-benih penyakit mental yang sangat rentan terhadap timbulnya apa yang disebut teufel-kreis (lingkaran setan) yang sulit untuk di atasi (Arifin, 1993).16 Lingkaran setan inilah yang menjadi sumber pokokdari hambatan dan tantangan pendidikan dan pembelajaran agama kepada masyarakat.

Prinsipnya yang paling fundamental adalah antara kesenjangan hidup berkat dampak kemajuan iptek dengan tuntutan kebutuhan hidup harus dijembatani atau dipersempit rentangnya dengan penanaman nilai-nilai agama yang mendasari kekuatan sikap mental dan moral-spiritual perilaku lahiriah manusia secara individu sebagai anggota masyarakat. Nilai-nilai agama sebagai kekuatan mental dan moral-spiritual pribadi tersebut akan menjadi daya tangkal masyarakat terhadap segenap ronrongan infiltrasi dari dampak negatif kemajuan iptek modern yang semakin canggih.

Itulah sebabnya agama beserta nilai-nilai yang dikandungnya diwahyukan oleh Tuhan kepada Rosul-Nya untuk merubah pandangan dan perilaku hidup manusia yang menyimpang dari garis-garis normatif-religius kepada jalan yang lurus yang diridhoi-Nya. Perubahan dan pandangan perilaku ini menjadi sumber kekuatan mental-spiritual untuk membebaskan diri dari tekanan psikologis sebagai akibat dari perubahan pola hidup masyarakat.

Untuk itu, kehidupan yang paling ideal pada era masyarakat madani sekarang ini dan mungkin yang akan datang adalah apabila kekuatan iman dan taqwa sebagai buah dari pendidikan dan pembelajaran agama mampu menjadi pengendali, penyeleksi dan penyaring segala unsure kemajuan iptek yang secara intrinsic bersifat merusak mental dan moral-spiritual masyarakat. Dengan kehidupan yang demikian, induvidu dan masyarakat akan menemukan kehidupan yang sebenarnya atau kehidupan sejati yang selalu disinari oleh Nur Illahi.



d. Hambatan Sosial-Politik

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD “ Arifin mengatakan bahwa Dalam proses perubahan social-politik di Negara kita ini dapat kita lihat peristiwa-peristiwa yang anti social, sadisme, anarkhisme dan tindakan lain yang tidak berperikemanusiaan yang sama sekali bertentangan dan tidak mencerminkan nilai-nilai agama. Sasaran utama dari proses letupan perasaan frustasi yang telah mencapai tingkat “tinggi” ini adalah kelompok-kelompok kekuatan yang bertanggung jawab atas ketertindasan harkat dan martabat hidup mereka yaitu perangkat pengausa pemerintahan mereka sendiri, dimana kelompok yang membantu kekuatan tirani komunitas mereka menjadi sasaran (Arifin, 1993).17

Terhadap munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang berekonomi kuat, penyakit mental yang berupa stres dan frustasi social itu menimbulkan sikap negative masyarakat yang lemah ekonominya, yaitu berupa kecemburuan sosial pada tahap awal perkembangannya, dan akan berlanjut kepada tahap ledakan sosial-politik yang tidak terkendali oleh kekuatan moral dan etik sebagai titik klimaksnya. Peristiwa tragis semacam ini akan dapat diredam, apabila sistem social-politik dalam masyarakat dapat direlisasikan dengan sebaik-baiknya berdasarkan keadilan sosial yang memberikan kesejahteraan dan kemakmuran merata dalam segenap lapisan masyarakat.

Kondisi tersebut, apabila dicermati secara seksama dapat mengakibatkan pendidikan dan pembelajaran agama tidak bisa berjalan secara optimal. Hal ini disebabkan perbedaan kepentingan social-politik individu atau kelompok, yang kepentingan itu dapat mengalahkan kepentingan yang lebih besar dalam menciptakan kehidupan yang damai dan aman, sehingga nilai-nilai agama terabaikan. Sebab lainnya adalah beragamnya etnis, rasial, dan keagamaan yang berakibat tidak dapat ditemukan dan dikembangngkan nilai-nilai agama yang universal, yang merupakan nilai bersama, kendati perbedaan latar belakang keagamaan atau perbedaan adapt-istiadat karena latar belakang rasial atau etnis. Ini bukan masalah yang mudah. Tetapi, pendidikan agama merupakan proses belajar terus menerus bagi semua orang dan semua golongan.

Pemikiran tersebut menunjukkan bahwa, perubahan kondisi social-politik yang dipicu oleh perkembanganilmu dan teknologi yang pesat, membawa serta perubahan dalam cara berfikir, cara menilai, cara menghargai hidup dan kenyataan. Ini semua membawa kekaburan nilai-nilai agama yang ada dan kekaburan dimensi nilai yang sebenarnya selalu ada dalam proses perkembangan dan perubahan masyarakat, serta dalam pribadi individu. Oleh karena itu, semua pihak yang terlibat dalam pendidikan, khususnya guru, bertanggungjawab untuk:

1). Melihat implikasi nilai-nilai agama dalam setiap proses perubahan terjadi.

2). Membantu untuk berkembangnya nilai-nilai agama dalam diri individu siswa.

3). Membantu agar siswa dapat mengambil sikap dan keputusan dalam merencanakan kehidupan secara bermakna.

Apabila semua pihak yang terlibat dalam pendidikan, khususnya pendidikan agama dapat melaksanakan ketiga tahapan tersebut, maka tidak mustahil akan memberikan hasil yang optimal. Tetapi sebaliknya, apabila tidak melaksanakannya, maka pendidikan agama tidak mustahil akan terhambat oleh euforia persoalan social-politik yang pada akhirnya dapat berakibat runtuhnya martabat bangsa.

  1. Hambatan Kultural

Akibat kemajuan bidang teknologi informasi, elektronika dan komunikasi, berbagai permasalahan di dunia ini menjadi meng-global. Globalisasi menjadikan bumi makin menyempit. Berbagai masalah local mampu membawa dampak men-dunia. Norma dan etika dunia makin cepat menyebar, sehingga terjadi akulturasi nilai. Akulturasi nilai mengakibatkan hilangnya identitas nilai-nilai universal, sehingga nilai yang menjadi acuan semakin kabur sumbernya.

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD “ Di samping, itu menurut Mudhzar (1992) globalisasi juga mengakibatkan berkembangnya mass culture, karena pengaruh mass media, sehingga kultue tidak lagi bersifat local, melainkan nasional, bahkan global. Ini akan berakibat meningkatnya heterogenitas nilai dalam masyarakat, sehingga nilai agama yang diyakini seseorang tidak lagi mampu mengklaim sebagi sumber kebenaran tunggal pada diri individu18. Selain nilai-nilai agama yang dipelukkya, individumerasa perlu melengkapi dirinya dengan nilai-nilai lain yang datang dari sekitarnya, baik dari kesepakatan politik, ekonomi, maupun budaya. Kehadiran sejumlah nilai dari sumber yang berbeda secara bersandingan ini akan menimbulkan beberapa persoalan, terutama dalam memilih nilai-nilai tersebut. Apakah nilai-nilai agama yang harus dimenangkan dan nilai-nilai yang lain dikesampingkan? Kondisi demikian sering menjadi persoalan yang serius.

Realitas ini sangat tidak menguntungkan dalam pendidikan agama. Karena nilai-nilai agama yang bersifat universal yang seharusnya menjadi prioritas untuk pedoman bertindak, kadang disandingkan dengan nilai-nilai lain yang bersifat local. Hal ini disebabkan orang tidak lagi melacak dari mana sumber nilai itu, tetapai yang penting adalah lebih cocok dan menguntungkan bagi dirinya, sehiingga tidak ada upaya pemilihan nilai.

Pemilihan nilai berarti menentukan suatu nilai sesudah mempertimbangkan semua akibat-akibat dari setiap alternative yang ada. Individu yang tidak mengetahui akibat suatu alternative, berarti pula tidak mengetahui akibat yang akan terjadi nantinya, dan dia tidak akan bebasmenerima akibatnya. Misalnya, seseorang menggunakan narkoba, yang katanya bagi mereka yang memakai dapat menghilangkan stres dan seakan melayang ke “surga”, ternyata resikonya secara moral dan material sangat tinggi, berupa pemborosan uang dan sakit fisik secara mental. Apabila dia berpegang pada nilai-nilai agama, yang jelas-jelas melarangnya, maka dia akan selamat dari bahaya itu.

Kerap kali memang akibat pilihan seorang individu tidak dapat diketahui sebelumnya, tetapi bukan berarti bahwa tidak ada pilihan bebas. Begitu orang memahami akibat-akibatnya, dia harus mengevaluasi kembali berdasarkan kerangka normatif agama. Namun kadang-kadang seseorang sadar bahwa itu perbuatan salah, tetapi tetap saja dia lakukan tanpa harus mengevaluasi bahwa perbuatan itu salah berdasarkan nilai-nilai agama. Akibatnya, setelah kesalahannya menumpuk dan resikonya semakin parah, dia baru sadar bahwa perbuatan itu salah.

Untuk itu sesuatu yang harus dilakukan adalah dengan menanamkan nilai-nilai agama secara mantap kepada siswa atau individu, agar dia terhindar dari berbagai godaan dan gangguan cultural yang tidak menguntungkan, dilihat dari aspek moral dan spiritual. Penanaman itu harus dapat mem-pribadi kepada siswa, artinya dia betul-betul “memikirkan tentang suatu nilai-nilai agama, tidak sekedar menanggapi suatu nilai-nilai agama”. Sebab diantara dua term ini mempunyai makna yang berbeda. Memikirkan suatu nilai agama berarti individu sudah mulai memikirkan untuk membentuk atau menyiapkan suatu nilai untuk dilaksanakan, sedang menanggapi suatu nilai-nilai agama hanyalah “menanggapi” kalau suatu nilai dibicarakan orang, atau terdapat dalam satu karang, atau dengan kat lain, nilai-nilai agama hanya sekedar sebagai wacana. Dalam hal ini individu yang hanya menyatakan persetujuannya pada sesuatu yang sudah ditulis, diucapkan orang, sebenarnya memang sudah menuju ke arah pembetukan nilai, tetapi masih pada ambang pintu yang jauh sekali untuk mewujudkan nilai itu sendiri.

Pendidikan agam,a pada dasarnya bukan merupakan sesuatu yang harus diwacanakan, tetapi lebih merupakan sesuatu yang normatif-dogmatif-pragmatis, sehingga secara given harus dilaksanakan. Untuk itu, nilai-nilai agama memang sudah seharusnya diterapkan dalam realitas sosial, tidak harus terhambat oleh berbagai tantangan dan hambatan kultural yang menghinggapi kehidupan kita.19

  1. Cara atau Kiat untuk mengembangkan Minat Belajar Agama Islam Anak

Adapun beberapa upaya Meningkatkan minat belajar diantaranya adalah sebagai berikut:

          1. Optimalisasi Penerapan Prinsip Belajar

Upaya pembelajaran terkait dengan beberapa prinsip belajar :

  1. Belajar menjadi bermakna bila siswa memahami tujuan belajar. Oleh karena itu guru perlu menjelaskan tujuan belajar secara hierarkis.

  2. Belajar menjadi bermakna bila siswa dihadapkan pada pemecahan masalah yang menantangnya. Oleh karena itu peletakan urutan masalah yang menantang harus disusun guru dengan baik.

  3. Belajar menjadi bermakna bila guru mampu memusatkan segala kemampuan mental siswa dalam program kegiatan tertentu.

  4. Sesuai dengan perkambangan jiwa siswa, maka kebutuhan bahan-bahan belajar siswa semakin bertambah.

  5. Belajar menjadi menantang bila siswa memahami prinsip penilaian dan faedah nilai belajarnya bagi kehidupan dikemudian hari.

    1. Optimalisasi Unsur Dinamis Belajar dan Pembelajaran

  1. Pemberian kesempatan pada siswa untuk mengungkap hambatan belajar yang dialaminya.

  2. Memelihara minat, kemauan, dan semangat belajarnya sehingga terwujud tindak belajar.

  3. Meminta kesempatan pada orang tua siswa atau wali, agar memberi kesempatan pada siswa untuk beraktualisasi diri dalam belajar.

  4. Memanfaatkan unsur-unsur lingkungan yang mendorong belajar.

  5. Menggunakan waktu secara tertib, penguat dan suasana gembira terpusat pada perilaku belajar.

  6. Guru merangsang siswa dengan penguatan pembari rasa percaya diri bahwa ia dapat mengatasi segala hambatan dan pasti berhasil.

  7. Optimalisasi Pemanfaatan Pengalaman dan Kemampuan Siswa

  8. Siswa ditugasi membaca bahan belajar sebelumnya, tiap membaca bahan belajar siswa mencatat hal-hal yang sukar dan diserahkan pada guru.

  9. Guru mempelajari hal-hal yang sukar bagi siswa.

  10. Guru memecahkan hal-hal yang sukar, dengan mencari cara memcahkan.

  11. Guru mengajarkan cara memecahkan dan mendidikkan keberanian mengatasi kesukaran.

  12. Guru mengajak serta siswa mengalami dan mengatasi kesukaran.

  13. Guru memberi kesempatan kepada siswa yang mampu memecahkan masalah untuk membantu rekan-rekannya yang mengalami kesukaran.

  14. Guru memberi penguatan para siswa yang berhasil mengatasi kesukaran belajarnya sendiri.

  15. Guru menghargai pengalaman dan kemampuan siswa agar belajar secara mandiri.

    1. Pengembangan Cita-cita dan aspirasi Belajar

  1. Guru menciptakan suasana belajar yang menggembirakan.

  2. Guru mengikutsertakan semua siswa untuk memelihara fasilitas belajar.

  3. Guru mengajak siswa untuk membuat perlombaan untuk belajar.

  4. Guru mengajak serta orang tua siswa untuk memperlengkap fasilitas belajar.

  5. Guru memberanikan siswa untuk mencatat keinginan-kainginan siswa yang tercapai dan tidak tercapai.

  6. Guru bekerja sama dengan pendidik lain, untuk mendidikkan dan mengembangkan cita-cita belajar sepanjang hayat.20








1 Djoko Witarko,Seri Panduan Rumah Belajar 1,Coca Cola Foundation Indonesia,Jakarta,2006,Hal.xi.

2putrabungsu-yahoo.blogspot.com/.../minat-siswa-belajar-pendidikan-agama_24.html - Tembolok - Mirip (Di kutip tanggal 26 Juli 2009)


3 http://www.sdm4sby.com/index.php

4 Ibid, hal. 41.

5 Joko Witarko,Loc Cit,.hal.55.

6 Drs.H. Nashar, M. Ag.,Loc.Cit,.hal.50.

7 Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM.,Manajeman Pembelajaran,Sukses Offset,Yogjakarta,2007,hal.35.

8 Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM,Ibid.,Hal.35.

9 Ibid.,Hal.36.

10 Ibid.,Hal.37.


11 http://www.luwzee.blog.friendster.com/.../tinjauan-tentang-minat-belajar-anak/

12 Drs. H. Mgs. Nazarudin, M.M., Op. Cit..,Hal.17.


13 Darmiyati Zuchdi, yang berjudul ,Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD,Bumi Aksara,Jakarta,2009,hal.49

14 Darmiyati Zuchdi,Ibid.,hal.53.

15 Ibid,hal.57.

16 Ibid,hal.60.

17 Ibid,hal.65.

18 Ibid,hal.67.

19 Ibid,hal.67.

20 Abdul Rahman Shaleh,Psikologi Suatu Pengantar Dalam Perspektif Islam,Prenada Media,Jakarta,2004,hal.128.

BAB II

RUMAH BELAJAR GANECHA DALAM MENINGKAT MINAT BELAJAR AGAMA ISLAM ANAK


        1. RUMAH BELAJAR

1. Pengertian Rumah Belajar

Rumah Belajar adalah perpustakaan yang juga tempat belajar kegiatan yang menyediakan informasi dari koleksi dan juga kegiatanya.1 Secara fisik rumah belajar ganecha adalah tempat seperti halnya perpustakaan. Pada fungsi lebih lanjut rumah belajar dapt saaja berwujud jariangan sistem informasi seperti perpuskaan elektronik. Tetapi lebih dari itu rumah belajar juga terwujud kegiatan. Rumah belajar ibarat perpustakaaan hidup yang menyediakan informasi tidak hanya dari koleksi dan sistem jaringan yang di bangaun tetapi juga dari semua pengguna dan terutama dari aktivitas layanan yang di ciptakan.

Jika pendidikan memanggil manusia mmenjadi pribadi insemanusiawi yang semanusia mungkiin maka runah belajar ganecha memanggil siapa saja,kapan saja dan mana saja. Untuk memberi arti baru dari kata belajar yang tidak saja memasukan berbagai infornasi kedalam diri(outside in) teapi juga menjadikan apa yang ada dalam diri keluar menjadi tutur kata sikap,perilaku,ketrampilan, keahlian.

      1. Jenis-jenis Bimbingan Belajar

Bimbingan belajar diberikan guru kepada peserta didik agar memiliki kemampuan optimal dalam mengembangkan seluruh potensi dirinya. Bimbimgan dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek kemampuan dan minat peserta didik.

  1. Penyelenggaraan bimbingan belajar dilakukan berdasarkan perencanaan yang matang. Perencanaan bimbingan seyogyanya

merupakan hasil sharing dengan seluruh komponen pendukung sekolah dan berdasarkan analisa kebutuhan pembelajaran.

  1. Perencanaan bimbingan belajar ditekankan kepada upaya membiasakan berperilaku terpuji, kretif, memahami dunia kerja dan mengembangkan kemampuan dasar, dan membuat perencanaan serta matang dalam mengambil keputusan.

c. .Perencanaan bimbingan belajar ditujukan kepada penyiapan peserta didik untuk melanjutkann pendidikan tinggi atau memasuki lapangan kerja. Perlu pula direncanakan bimbingan yang diberikan kepada peserta didik selama mengikuti pelaksanaan program perbaikan dalam rangka mencapai kemampuan dasar yang tercantum dalam kurikulum nasional.


        1. MINAT BELAJAR AGAMA ISLAM

              1. Pengertian Minat Belajar Agama Islam

Minat dalam pengertian umum adalah “Sesuatu yang menimbulkan perhatian yang kuat Maksudnya segala sesuatu hal yang menimbulkan keinginan dan perhatian yang kuat dikatakan dengan minat atau kemauan. Minat terhadap sesuatu hal akan timbul apabila seseorang menaruh perhatian terhadap obyek itu. Perhatian ini dapat terjadi dengan sendirinya maupun karena pengaruh dari luar, terutama dari lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.Untuk membangkitkan minat ini diperlukan beberapa syarat, seperti: obyek itu harus menarik perhatian, baik karena warna yang kontras, bunyi, atau gerakannya. Di sekolah, seorang guru perlu menggunakan alat peraga atau model untuk menarik perhatian murid. Ini sekaligus untuk mengurangi proses abstraksi yang masih sulit bagi anak.2



Menumbuhkan minat belajar anak membutuhkan proses yang tidak instan. Pertama menumbuhkan terlebih dahulu rasa butuh akan manfaat suatu pelajaran. Misalnya ketika orangtua berharap anak memiliki kesadaran belajar Agama. Sebelum ditanya PR, perlu sesekali tanyakan ”adakah yang menarik di kelas...? siapa teman yang kamu sukai dan tidak sukai...? kenapa kamu menyukai atau tidak menyukai...? apa yang kamu lakukan pada mereka ? ada gak pelajaran yang membahas kerukunan? ”. Menurut kamu apa manfaatnya setelah belajar kerukunan ?.”

Kedua menjadikan anak sebagai partner belajar. Tidak selamanya orangtua harus selalu tampak pintar, adakalanya perlu sesekali kelihatan bodoh dan tidak tahu untuk memancing penjelasan anak. Hal ini bisa mendorong anak untuk lebih percaya diri dan mencari sebanyak mungkin informasi baik dari guru, buku bacaan maupun media elektronik yang tersedia.

Ketiga, Kunjungan edukasi keluarga. Tidak harus mahal dan menggunakan perijinan yang rumit.. Sesekali ajak anak ke pasar tradisional untuk melalukan transaksi jual beli. Karena selama ini jika ke Mall, belanja menjadi sangat individualis tanpa ada transaksi yang melibatkan emosi dan sosialisai. Datangkan langsung ke sumber-sumber kehidupan sehari-hari.misalnya peternakan sapi, kemudian dilanjutkan ke pabrik pembutan susu. Dia belajar proses proses produksi – distribusi sampai konsumsi. Dorong anak tidak selamanya menjadi konsumen tetapi perlu menjadi produsen. Hal ini akan mengurangi gaya hidup konsumtif dan meningkatkan nilai produktivitas SDM yang akan datang. . Misalnya membuat kertas daur ulang atau menyediakan bibit tanaman buah-buahan.

Keempat, menjadikan anak sebagai pelopor. Seringkali memulai kebaikan memang tidak mudah. Misalnya dalam global warming, di sekolah mereka sudah belajar teorinya. Tapi bagaimana anak juga juga menyelaraskan teori dengan aksi. Maka latihlah menjadi anak yang ”beda’. Jika kebanyakan anak berangkat diantar mobil, sepeda motor atau mobil angkutan. Maka latihlah sesekali menggunakan sepeda atau dengan jalan kaki jika jaraknya dekat. Selain sehat juga mengurangi polusi udara yang menimbulkan efek rumah kaca. Tidak hanya sendiri tapi orangtuapun memulai gerakan yang sama.

Keempat tahap diatas membutuhkan kerja sama serta komunikasi yang intensif antara sekolah dan rumah (orangtua). Keduanya memiliki hubungan yang komplementer (saling melengkapi) bukan saling menggantungkan. Guru atau sekolah tidak hanya menjadikan orang tua atau rumah sebagai kambing hitam ketidakmampuan dan kemalasan anak dalam belajar begitupun orangtua tidak menggantungngkan 100 % tercapainya tujuan pendidikan lewat sekolah3

Suatu minat dapat berkembang seiring dengan kebiasaan yang sering dilakuka, dimana kebiasaan dapat diartikan suatu sikap atau kegiatan yang bermanfaat fisik atau mental yang telah mendarah daging atau membudidaya dalam diri seseorang.4 Minat dan motifasi sangat menentukan terbentuknya suatu kebiasaan,akan tetapi memang memerlukan waktu yang lama.

Belajar merupakan perubahan tingkah laku, perubahan itu mangarah pada tingakah laku yang baik, yang terjadi melalui latihan atau pengalaman.5

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Drs.H. Nashar, M. Ag yang berjudul “Peranan Motivasi dan Kemampuan Awal dalam Kegiatan pembelajaran”,Kohman Abror berpendapt bahwa belajar yaitu: (1) menimbulkan perubahan yanga relatif tetap. (2) perubahan itu membedakan antara keadaan sebelum individu berada dalam situasi belajar dan sesudah diberlakukan belajar. (3) perubahan itu dilakukan lewat kegiatan, usaha atau praktek yang disengaja atau yang diperkuat.6

Agama Islam merupakan suatu sistem aqidah dan syariah serta akhlak yang mengatur hidup dan kehidupan dalam berbagai hubungan. Ruang lingkupnya lebih luas dari ruang lingkup agama nasrani yang hanya mengatur hubungan manusia dan Tuhan. Agama Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia denagan manusia dalam masyarakat termasuk dengan diri manusia itu sendiri tetapi juga dengan alam sekitarnya yang kini terkenal dengan lingkungan Islam.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat penulis simpulkan bahwa minat belajar agama islam adalah kemauan untuk merubah tingkah laku sesuai sistem aqidah serta ahlak yang mengatur hidup dan kehidupan dalam berbagai hubungan.

              1. Teori-teori Belajar Agama Islam Anak.

Ada beberapa strategi pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru Pendidikan Agama Islam dalam rangka mewujudkan proses pembelajaran yang actual seperti dimaksud, yaitu:

  1. Terpusat Pada Guru

Strategi pembelajaran yang terpusat pada guru adalah pembelajaran yang menempatkan guru sebagai pemberi informasi, Pembina dan pengarah satu-satunya dalam proses belajar mengajar. Model didasarkan pada konsep mengajar yang bersifat rasionalitas akademis yang menekankan segi pemberian pengetahuan semata-mata, dengan tidak melihat bahwa pengajaran juga harus mengandung maksud pembinaan dan pengembangan terhadap berbagai potensi yang dimiliki para siswa.

Sebagai akibat dari konsep mengajar yang demikian itu, maka seorang guru yang mengajar mencakupkan dirinya pada penguasaan bahan pelajaran semata-mata, tanpa harus mengetahui nilai-nila,I apa saja yang dapat disentuh oleh materi pelajaran yang akan diberikan kepada siswanya. Dalam keadaan yang demikian, yang terjadi pengajaran dan bukan pendidikan. Dari pengajaran yang demikian itu, dapat dihasilkan siswa-siswa yang cukup luas pengetahuannya, tetapi tidak cukup mantap kepribadiannya, dan kalau hal ini sempat terjadi, maka kita menghadapi situasi yang cukup gawat.

Akibat lanjut dari sistem pengajaran ini, akan mudah bagi seorang guru untuk terjebak kedalam perbuatan pamer pengetahuan, ketika ia berdiri di depan kelas. Ia sibuk sekali didepan kelas, tetapi tidak mendidik, tidak pula mengajar, tetapi asyik membeberkan pengetahuan yang dimilikimya dan asyik menikmati kekagumanyang diperlihatkan siswa-siswanya.

Selanjutnya, jika pamer pengetahuan tersebut terjadi tanpa sengaja, dan dampak yang ditimbulkannya hanya kekaguman siswa, maka hal yang demikian masih dapat dinilai wajar. Akan tetapi, apabila pamer pengetahuan ini sudah merupakan suatu perbuatan yang disengaja, secara pedagogis yang dihadapi adalah situasi yang tidak etis. Yang dijumpai dalam hal ini ialah guru yang menyalahgunakan kelemahan-kelemahan para siswa : kekurangan pengetahuan mereka, keterbatasan pengalaman hidup mereka dan ketidakberdayaan mereka dalam menghadap gurunya. Dampak yang akan timbul dari keadaan tersebut bukan kekaguman lagi kepada guru, melainkan kebingungan siswa tentang pelajaran yang diterima dan ketakutan siswa terhadap diri sang guru. Ironisnya adalah bahwa dalam masyarakat kita masih ada sekelompok guru atau dosen yang justru menikmati ketakutan dan kebingungan para siswa atau mahasiswanya. Jika keadaan ini sudah terjadi dengan sengaja, masalahnya bukan karena kesalahan pedagogis melainkan sikap tidak etis dan dosa pedagogis.

Model pengajaran yang demikian itu banyak terjadi pada Negara-negara berkembang, dan lebih khusus lagi pada masyarakat pedesaan yang belum tersentuh perkembangan dibidang informasi. Kita misalnya melihat bahwa dipedesaan masih terbatas sarana informasi yang memuat ilmu pengetahuan danb teknologi, seperti buku, majalah, surat kabar, dan sebagainya. Dalam keadaan yang demikian, sumber informasi sepenuhnya berada ditangan guru. Gurulah satu-satunya sumber informasi, dimana para siswa dan masyarakat sekitarnya amat bergantung kepadanya. Keadaan ini berbeda dengan masyarakat yang sudah maju seperti di perkotaaan dimana sumber informasi sudah banyak dkijumpai.

  1. Terpusat Pada Siswa.

Seiring dengan kemajuan yang terjadi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, konsep pembelajaran pun mengalami perubahan, yaitu dari yang semula berpusat pada guru, menjadi lebih berpusat pada siswa. Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM., yang berjudul “Manajeman Pembelajaran” Chauhan berpendapat bahwa Dalam hubungan ini, seorang pakar pendidikan mengatakan bahwa mengajar adalah “upaya dalam memberikan perangsang (stimulasi), bimbingan dan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar” (Chauhan, 1979:46).7 Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM., yang berjudul “Manajeman Pembelajaran” Burton berpendapat bahwa Pandangan ini sejalan dengan pendapat Gagne dan Briggs yang mengatakan bahwa is a set of events which affect learness in such way that learning is facilitated. Yaitu menciptakan berbagai peluang yang berpengaruh terhadap proses belajar yang dengan sendirinya tercipta berbagai kebutuhan belajar “(Burton, 1944:72).8 Dengan demikian dalam mengajar yang penting bukan upaya guru menyampaikan bahan, melainkan bagaimana siswa dapat mempelajari bahan sesuai dengan tujuan. Dalam hal ini upaya penting yang harus dilakukan adalah menciptakan serangkaian peristiwa yang dapat mempengaruhi siswa belajar. Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM., yang berjudul “Manajeman Pembelajaran” Burton berpendapat bahwa “Peran guru mengalami pergeseran dari yang semula sebagai satu-satunya pemberi informasi, menjadi sebagai orang yang bertindak sebagai direcror and facilitator of learning, yakni pengarah dan pemberi fasilitas untuk terjadinya proses belajar. Sejalan dengan ini harus diakui akan kebenaran pernyataan bahwa pengajaran itu pada hakekatnya adalah suatu proses yang mengandung makna, bukan semata-mata proses yang mekanis”(Burton, 1944:72).9

Konsep belajar tersebut mengisyaratkan pentingnya siswa sebagai faktor dominant dalam merencanakan kegiatan belajar mengajar. Hal ini sebagai kebalikan dari metode pembelajaran yang terpusat pada guru sebagaimana disebutkan diatas.

  1. Terpusat Pada Guru dan Siswa.

Jika pada strategi pertama kegiatan belajar mengajar didominasi oleh guru, dan strategi, dan strategi yang kedua kegiatan belajar mengajar oleh siswa, maka pada strategi yang ketiga kegiatan belajar mengajar tidak terpusat pada salah satu dari keduanya, tetapi terjadi interaksi antara guru dan siswa secara bersama-sama. Dalam kaitan ini belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbale balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan timbale balik antara guru dan siswa tersebut merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar mengajar. Interaksi dalam peristiwa belajar mengajar mempunyai arti yang lebih luas, yaitu tidak hanya sekedar hubungan antara guru dengan siswa, tetapi berupa interaksi edukatif. Dalam hubungan ini tugas seorang guru bukan hanya menyampaikan pesan berupa materi pelajaran, melainkan pemahaman sikap dan nilai pada diri siswa yang sedang belajar.

Sejalan dengan uraian tersebut maka proses belajar mengajar mempunyai makna dan pengertian yang lebih luas daripada pengertian mengajar dalam arti memberikan bekal pengetahuan semata-mata. Dalam proses belajar mengajar, tersirat adanya satu kesatuan kegiatan yang tak terpisahkan antara siswa yang belajar dengan guru yang mengajar. Antara dua kegiatan ini terjalin interaksi yang saling menunjang.

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM., yang berjudul “Manajeman Pembelajaran” Burton berpendapat bahwa “Peranan guru yang terpenting adalah menciptakan serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan, dan dilakukan dalam situasi tertentu, serta berhubungan dengan kemajuan dalam bidang perubahan tingkah laku dan perkembangan siswa yang menjadi tujuannya”(Burton, 1944:56).10

Dengan demikian dalam proses interaksi belajar mengajar itu target yang ingin dicapai bukan hanya pengajaran, melainkan juga pendidikan secara sekaligus. Untuk itu seorang guru harus tahu nilai-nilai apa yang dapat disentuh oleh materi pelajaran yang akan diberikan kepada siswanya. Guru harus tahu sifat-sifat kepribadian apa yang dapat dirangsang pertumbuhannya melalui materi pelajaran yang akan disajikan. Misalnya dapatkah suatu gugus materi pelajaran matematika dipergunakan untuk merangsang pertumbuhan nilai-nilai kejujuran, ketelitian, dan keuletan kerja pada diri para siswa.

Pertanyaan semacam itulah yang seharusnya dipikirkan oleh seorang guru yang ingin meningkatkan perbuatan mengajar yang dilakukannya menjadi perbuatan mendidik. Ini bukan suatu hal yang mudah. Inilah sebabnya mengapa banyak guru yang tidak selalu berhasil meningkatkan diri mereka menjadi pendidik. Mereka terpaku pada aspek-aspek pengajaran dalam m,elaksanakan tugas mereka sehari-hari. Ini tidak berarti pula bahwa pekerjaan mengajar itu mudah. Untuk mengajar dengan baik, diperlukan sikap tertentu, yaitu sikap gemar mencari pengetahuan baru dan senang berbagi pengetahuan dengan orang lain. Orang yang sudah merasa puas dengan pengetahuan yang telah dimilikinya tidak akan dapat menjadi pengajar yang baik.

Disamping masalah sikap ini, diperlukan pula ketrampilan dan kemampuan tertentu untuk mejadi pengajar yang baik. Antara lain ketrampilan untuk menyajikan suatu bahan pelajaran secara sistematik, kemampuan untuk memahami dan menyelami alam pikiran para siswa, dan kemampuan untuk meramu bahan pelajaran, sehingga tersusun suatu program pelajaran yang relecan dengan realitas yang terdapat dalam kehidupan para siswa. Memupuk sikap, ketrampilan serta kemampuan seperti ini memerlukan iktiar dan waktu.

  1. Strategi mana yang harus digunakan

Ketiga macam strategi pembelajaran sebagaimana disebutkan diatas dapat digunakan sesuai dengan lingkungan sosial dimana kegiatan pengajaran itu dilakukan. Bagi masyarakat agraris yang serba kurang informasi kecenderungan untuk menerapkan model pembelajaran yang terpusat pada guru tampak cukup dominant, sebagaimana hal yang demikian itu masih dapat dijumpai pada berbagai daerah dipedesaan di Indonesia. Selanjutnya, bagi masyarakat modern yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dengan pola hidup yang cenderung liberal, tampaknya metode pembelajaran yang memusat pada murid cukup dominant. Mata pelajaran atau program studi yang akan dipelajari ditentukan oleh kemauan dan pesanan para murid. Sementara pada masyarakat yang masih dalam keadaan transisi antara dua kebudayaan tersebut, yaitu antara kebudayaan agraris dan kebudayaan modern, pembelajaran yang memadukan antara kehendak guru dan murid tampaknya merupakan alternative yang pas.

Selanjutnya, perlu dicatat bahwa penentuan pilihan pada salah satu strategi pembelajaran tersebut, selain berimplikasi pada konsep belajar mengajar sebagaimana disebutkan diatas, juga akan memberikan implikasi pada seluruh aspek pendidikan, mulai dari perumusan tujuan pendidikan, kurikulum, materi pendidikan, metode dan pendekatan, sarana prasarana, lingkungan pendidikan, evaluasi dan sebagainya.

Pada strategi pembelajaran yang memusat pada guru misalnya, seluruh aspek pendidikan tersebut ditentukan oleh guru. Dengan demikian, gurulah yang menetukan tujuan pendidikan yang ingin dicapai; kurikulum atau mata-mata kuliah yang akan diberikan; materi pelajaran yang diajarkan; metode dan pendekatan dalam mengajar yang akan digunakan; sarana prasarana yang akan diperlukan; lingkungan pendidikan yang dibutuhkan serta model evaluasi yang ingin ditempuh. Dalam keadaan demikian murud tidak dijadikan factor dalam merumuskan metode pembelajaran yang akan diterapkan, tetapi hanya dijadikan objek atau sasaran dari kehendak guru. Beruntung jika segala sesuatu yang dirancang oleh guru itu merupakan halhal yang akan mendatangkan manfaat bagi murid. Namun, alangkah ruginya para murid jika apa yang didapatnya dari pengajaran yang diberikan guru itu adalah sesuatu yang tidak lagi diperlukan oleh masyarakat. Dalam keadaan yang demikian, guru atau lembaga pendidikan harus bertanggung jawab atas nasib kehidupan para lulusannya; karena guru atau lembaga pendidikan tersebut telah menghasilkan lulusan yang bermasalah. Implikasi dari metode pembelajaran yang berpusat pada guru atau lembaga pendidikan semacam ini masih banyak dijumpai pada masyarakat Indonesia, khususnya di pedesaan mengngingat para siswa atau masyarakat berada dalam posisi yang lemah dalam menentukan atau ikut serta merancang pendidikan yang diberikan kepadanya.

Untuk melengkapi pengertian mengenai makna belajar, perlu kiranya dikemukakan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan belajar siswa. dalam hal ini ada beberapa prinsip yang penting untuk diketahui, antara lain :

  1. Belajar pada hakekatnya menyangkut potensi manusiawi dan kelakuannya.

  2. Belajar memerlukan proses dan pemantapan serta kematangan diri siswa.

  3. Belajar akan lebih mantap dan efektif, bila didorong dengan motivasi, terutama motivasi dari dalam atas dasar kebutuhan atau kesadaran (instrinsic motivation), lain halnya belajar dengan karena rasa takut atau dibarengi dengan rasa tertekan dan menderita.

  4. Dalam banyak hal belajar itu merupakan proses percobaan (dengan kemungkinan berbuat keliru) dan conditioning atau pembiasan.

  5. Kemambuan belajar seseorang siswa harus diperhitungkan dalam rangka menentukan isi pelajaran.

  6. Belajar dapat melakukan tiga cara :

  1. Diajar secara langsung.

  2. Kontrol, kontak, penghayatan, pengalaman langsung (seperti anak belajar bicara, sopan santun, dan lain-lain)

  3. Pengenalan dan/atau peniruan.

  1. Belajar melalui praktek atau mengalami secara langsung aakn lebih efektif mampu membina sikap, keterampilan, cara berfikir kritis dan lain-lain, bila dibandingkan dengan belajar hafalan saja.

  2. Perkembangan pengalaman anak didik akan banyak mempengaruhi kemampuan belajar yang bersangkutan.

  3. Bahan pelajaran yang bermakna atau berarti, lebih mudah dan menarik untuk dipelajari, daripada bahan yang kurang bermakna.

  4. Informasi tentang kelakuan baik, pengetahun, kesalahan serta keberhasilan siswa, banyak membantu kelancaran dan gairah belajar.

  5. Belajar sedapat mungkin diubah ke dalam bentuk aneka ragam tugas, sehingga anak-anak melakukan dialog dalam dirinya atau mengalaminya sendiri.11

              1. Tujuan Belajar Agama Islam dan fungsi belajar Pendidikan Agama Islam

Pendidikan Agama Islam bertujuan memberi bekal kemampuan dasar keadaan peserta didik meliputi:

    1. Memiliki dasar keimanan yang mantap

    2. Mengetahui ketentuan dasar beribadah.

    3. Gemar membaca dan menulis huruf Al-Quran.

    4. Melaksanakan puasa, infak dan sedekah

    5. Bertatakrama dan berperilaku terpuji

    6. Menghayati nilai-nilai keteladanan para rosul dan sahabat.

Pendidikan Agama Islam, baik sebagai penanaman keimanan dan seterusnya maupun sebagai materi (bahan ajar) memiliki fungsi yang jelas.Fungsi Pendidikan Agama Islam adalah sebagai berikut :

    1. Pengembangan; yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Pada dasarnya dan pertama- tama menanamkan kuwajiban menanamkan keimanan dan ketaqwaan dilingkungan oleh setiap orang tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuhkembangkan lebih lanjut dalam diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan ketaqwaan tersebut dapat berkembangan secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.

    2. Penyaluran; yaitu untuk mernyalurkan peserta didik yang memiliki bakat khusus dibidang agama agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal sehingga dapat dimangfaatkan untuk dirinya sendiri dan dapat pula bermanfaat untuk orang lain.

    3. Perbaikan; yaitu untuk memperbaikai kesalahan- kesalahan, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan dalam keyakinan,pemahaman dan pengamalan ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari.

    4. Pencegahan; Yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari lingkungan peserta didik atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dan menghambat perkembangan dirinya menuju manusia Indonesia seutuhnya.

    5. Penyesuaian; yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik linkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran Islam.

    6. Sumber nilai; yaitu memberikan pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

    7. Pengajaran; yaitu untuk menyampaikan pengetahuan keagamaan yang fungsional.12

  1. Faktor Penghambat Minat Belajar Agama Islam

Tantangan dunia pendidikan pada umumnya bukanlah permasalahan yang berdiri sendiri, tetapi terkait baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perkembangan iptek dan aspek kehidupan yang lain, baik ekonomi, politik, maupun social budaya. Berbagai tantangan yang dihadapai dunia pendidikan pada umumnya juga harus dihadapi oleh pendidikan agama sebagai bagian dari pendidikan bangsa. Kalau dunia pendidikan di Indonesiaproses memerlukan berbagai inovasi agar tetap berfungsi optimal ditengah arus perubahan, maka pendidikan agama juga memerlukan berbagai upaya inovasi agar eksistensinya tetap bermakna bagi kehidupan bangsa.

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa, hambatan pendidikan agama yang begitu kompleks pada dasarnya dapat dikelompokkan kedalam dua macam, yaitu hambatan internal dan eksternal. Hambatan internal menyangkut sisi pendidikan agama sebagai program pendidikan baik dari segi pemahaman terhadap materi Pendidikan Agama Islam, perancangan, maupun pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan agama Islam itu sendiri. Hambatan eksternal berupa hubungan kemajuan iptek, era globalisasi dibidang informasi, perubahan sosial ekonomi dan budaya dengan segala dampaknya. Problem yang merupakan konsekuensi logis dari perkembangan iptek yang menuju proses globalisasi dan derasnya arus informasi, menyebabkan permasalahan yang sangat kompleks, tidak terkecuali pendidikan agama. Sebab proses ini nyatanya lebih mementingkan materi dan mengesampingkan agama.

Berbagai macam tantangan Pendidikan Agama Islam tersebut sebenarnya dihadapi oleh semua pihak, baik keluarga, pemerintah , maupun masyarakat, baik yang terkait langsung ataupun tidak langsung dengan kegiatan pendidikan agama Islam. Namun demikian, guru Pendidikan Agama Islam di sekolah yang terkait langsung dengan pelaksanaan pendidikan Islam dituntut untuk mampu menjawab dan mengantisipasi berbagai tantangan tersebut. Untuk mkengantisipasinya, diperlukan adanya profil guru Pendidikan Agama Islam di sekolah yang mampu menampilkan sosok kualitas personal atau professional dalam menjalankan tugasnya. Dengan ini diharapkan performance dia dalam membelajarkan pendidikan agama Islam betul-betul dapat dipertanggung jawabkan, baik secara intelektual, moral, maupun spiritual, sehingga kepribadian dia dapat menjadi kurikulum tersembunyi bagi siswa.

  1. Tantangan Internal

Sebagaimana uraian terdahulu, bahwa selama ini terdapat berbagai kritik dan sekaligus solusi terhadap pelaksanaan pendidikan agama yang sedang berlangsung di sekolah. Secara konseptual-teoritis, kritik dan solusi tesebut telah dijadikan pertimbangan dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama di sekolah. Untuk itu, dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK) salah satu rekomendasinya dinyatakan bahwa, pendidikan agama harus dilaksanakan secara terpadu, yakni keterpaduan pembinaan antara tiga lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, serta keterpaduan antara pendidikan agama dengan perkembangan iptek. Karena itu, pelaksanaan Pendidikan Agama Islam disekolah harus mampu memenuhi tuntutan tersebut. Di samping itu, Andi Rasdinah mengemukakan beberapa kelemahan lainnya dari pendidikan agama islam di sekolah, bik dalam pemahaman materi Pendidikan agama Islam maupun dalam pelaksanaannya, yaitu:

1). Dalam bidang teologi, ada kecenderungan mengarah kepada faham fatalistik.

2). Bidang akhlak berorientasi pada urusan sopan santun dan belum difahami sebagai ikeseluruhan pribadi manusia beragama.

3). Bidang ibadah diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan kepribadian.

4). Dalam bidang hukum (fiqih) cenderung dipelajari sebagai tata aturan yang tidak akan berubah sepanjang masa, dan kurang memahami dinamika dan jiwa hukum Islam.

5). Agama Islam cenderung diajarkan sebagai dogma dan kurang mengembangkan rasionalitas serta kecintaan pada ilmu pengetahuan.

6). Orientasi mempelajari Al-Quran masih cenderung kepada kemampuan membaca teks, belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna.

Towaf juga mengamati adanya kelemahan-kelemahan Pendidikan Agama Islam di sekolah, antara lain:

1). Pendekatan masih cenderung normative, dalam arti pendidikan agama menyajikan norma-norma yang sering kali tanpa ilustrasi konteks social budaya, sehingga siswa kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian.

2). Kurikulum pendidikan agama Islam yang dirancang disekolah sebenarnya lebih menawarkan minimum kompetensi atau minimum informasi, tetapi pihak guru Pendidikan Agama Islam seringkali terpaku padanya, sehingga semangat untuk memperkaya kurikulum dengan pengalaman belajar yang bervariasi kurang tumbuh.

3). Sebagai dampak yang menyertai situasi diatas, maka guru Pendidikan Agama Islam kurang berupaya menggali berbagi metode yang mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agama, sehingga pelaksanaan pembelajaran cenderung monoton.

4). Keterbatasan sarana atau prasarana, sehingga pengelolaan cenderung seadanya. Pendidikan agama yang diklaim sebagai aspek yang penting seringkali kurang diberi prioritas dalam urusan fasilitas.

Tantangan Pendidikan Agama Islam juga terkait dengan tantangan dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya, terutama dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia itu, yaitu:

1). Era kompetitif yang disebabkan oleh meningkatnya standar dunia kerja.

2). Jika kualitas pendidikan menurun, maka kualitas sumber daya manusia juga menurun dan lemah pula dalam hal keimanan dan ketaqwaan serta penguasaan iptek.

3). Kemajuan teknologi informasi menyebabkan banjirnya informasi yang tidak terakses dengan baik oleh para guru dan pada gilirannya berpengaruh pada hasil pendidikan.

4). Dunia pendidikan tertinggal dalam hal metodologi.

5). Kesenjangan antara kualitas pendidikan dengan kenyataan empiric perkembangan masyarakat.

b. Tantangan Eksternal (global)

Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa awal perkembangan sains modern (sekitar abad 16/17 M) pernah terjadi perpecahan antara kaum agamawan dan ilmuan, yang ditandai dengan sikap keras kaum agamawan Eropa (penganut geosentris) kepada penganut faham heliosentris, seperti Copernicus, Bruno, Kepler, Galileo, dan lain-lainnya. Metodologi yang dikembangkan oleh mereka mengandalkan kemampuan inderawi (empiris), sehingga kajian-kajian keagamaan yang bersifat non-inderawi dianggap tidak ilmiah.

Pengalaman sejarah juga menunjukkan bahwa di Negara yang sudah memasuki era industri, dimana masyarakatnya sangat mendambakan rasionalitas , efisiensi, teknikalitas, individualitas, mekanistis, materialistis, ternyata semua yang berbau sacred (suci) nyaris tidak mendapat tempat pada masyarakat itu. Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD” Ellul (1964) telah mengidentifikasi lima alasan sosiologis berdasarkan tradsi Nasrani, tentang mengapa orang semakin sedikit dan ogah dalam menjalankan nilai-nilai agama. Kelima alas an itu adalah:

1). Sekularisasi.

2). Iklim penalaran dan skeptisisme.

3). Ketidakpraktisan sembahyang.

4). Kerancuan sembahyang dan moralitas.

5). Keterbatasan bahasa atau berberlit-belitnya bahasa sembahyang.13

Namun demikian, kalau kita mengamati fenomena yang terjadi pada akhir abad 20 (di mana kemajuan iptek sudah begitu maju pesat), ternyata justru terhjadi sebaliknya. Dalam arti terjadi hubungan yang harmonis antara ilmuan dan agamawan. Temuan-temuan dalam bidang iptek yang kasat mata membuat ilmuan percaya pada banyak hal yang tidak terjangkau oleh indera. Hal ini muncul terutama ketika disadari bahwa isi dalam alam semesta ini terdiri atas atom-atom yang dapat diteliti lagi menjadi sub-sub atom. Karena itu, para ilmuan terperangah bahwa banyak hal yang harus dipercaya “ada”nya tanpa harus ditangkap oleh indera, termasuk electron, cahaya, gelombang radio, dan sebagainya. Di Indonesia, perpecahan antara ilmuan dan agamawan ternyata tak tercatat dalam sejarah perkembangan iptek, mlahan himbauan agar ilmuan dan agamawan saling mendukung sangat terdengar gemanya di Indonesia. Misalnya Baiquni mengatakan bahwa iptek terus menerus memerlukan bantuan agama; dan Mangunwajiwa juga mengajak kita untuk menarik hikmah dari Galileo-Galilei.

Munculnya ICMI juga merupakan kasus yang menarik untuk mengharmonoskan hubungan antara ilmuan dan agamawan. Oleh karena itu, pengalaman sejarah dari Negara industri tersebut setidak-tidaknya akan sulit muncul di Indonesia, bilamana benar-benar tercipta keserasian antara ilmu pengetahuan dan agama.

Dalam arti keyakinan beragama (sebagai hasil dari pendidikan agama) diharapkan mampu memperkuat upaya penguasaan dan pengembangan iptek, dan sebaliknya pengembangan iptek memperkuat keyakinan beragama. Ilmu pengetahuan berbicara know what dan know why, dan teknologi berbicara know how. Sedangkan agamalah yang bisa menuntun manusia untuk memilih mana yang patut, bis, benar dan baik dikembangkan dan dijalankan. Di sinilah letak peranan pendidikan agama (Islam) dan sekaligus pendidiknya (Guru Pendidikan Agama Islam di sekolah) dalam mengantisipasi perkembangan kemajuan iptek. Dalam arti, mampukah guru Pendidikan Agama Islam menegakkan landasan, yang menjadi tiang utama ajaran agama, tatkala domonasi temuan iptek sudah demikian hebat dan menguasai segala perbuatan dan pikiran umat mausia.

Temuan iptek telah menyebarkan hasil yang membawa kemajuan, dan dampaknya terasa bagi kehidupan seluruh umat manusia. Semua hasil temuan Iptek disatu sisi harus di akui telah secara nyata mempengaruhi bahkan memperbaiki taraf dan mutu hidup manusia. Di sisi lain produk temuan dan kemajuan iptek itu telah mempengaruhi bangunan kebudayaan dan gaya hidup manusia.

Dalam era kemajuan iptek ini perubahan global semakin cepat terjadi dengan adanya kemajuan-kemajuan dari Negara maju di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Kemajuan iptek ini mendorong semakin lajunya proses globalisasi. Teknologi komputer misalnya, membanjiri setiap negara, bangsa dan budaya tanpa mengenal batas bangsa, negara dan budaya. Faksimili adalah teknologicetak jarak jauh yang dapat mengirimkan pesan untuk sispapun, di manapun, Negara manapun, dan bangsa apapun, serta bisnis dan institusi apapun. Faksimili adalah teknologi global yang membantu terciptanya globalisasi dalam pengiriman pesan dalam waktu yang cepat dan akurat. Televisi dengan antenna parabola merupakan media global yang mendorong terciptanya globalisasi penyiaran berita, budaya dan sebagainya secara interansional yang tidak mengenal batas ruang dan waktu.

Kenyataan semacam itu akan mempengaruhi nilai, sikap dan tingkah laku kehidupan individu dan masyarakatnya. Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD “Hasil studi yang dilakukan oleh Inkeles dan Smith (1974) dalam Muhaimin (1999) “di enam Negara sedang berkembang (Argentina, Bangladesh, Chili, India, Israel dan Nigeria) serta pernyataan Naissbit dan Aburdene dalam Megatrends 2000, sebagaimana dikemukakan terdahulu menunjukkan bahwa ada beberapa nilai, sikap dan tingkah laku individu dan masyarakat modern yang kongruen (sejalan) dengan ajaran Islam sekaligus tidak mendukung keberhasilan pembangunan. Ada pula nilai dan sikap modernitas yang tidak kongruen (berlawanan) dengan ajaran agama Islam sekaligus tidak mendukung keberhasilan pembangunan. Misalnya: lemahnya keyakinan keagamaan, sikap individualistis, materialistis, hedonistis dan sebagainya. Nilai-nilai dan sikap yang negatif itu akan muncul bersamaan dengan nilai dan sikap positif lainnya, yang sudah barang tentu merupakan ancaman bagi terwujudnya cita-cita pembangunan bangsa. Karena itu masalah yang perlu segera mendapat jawaban, terutama dari guru Pendidikan Agama Islam adalah “mampukah” kegiatan pendidikan agama (Islam) itu berdialog dan berinteraksi dengan perkembangan zaman modern yang ditandai dengan kemajuan iptek dan informasi, dan mampukah mengatasi dampak negatif dari kemajuan tersebut.”14

c. Hambatan Psikologis

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD “ Menurut Arifin (1993) kemajuan iptek yang amat mengandalkan kecerdasan rasio, sampai batas-batas tertentu dapat mengoreksi benteng-benteng nilai agama. Berbagi akibat yang muncul kepermukaan antara lain ialah nilai-nilai kehidupan umat manusia lebih banyak didasarkan pada nilai kegunaan, kelimpahan hidup materialistic, sekularistik, dan hdonistik yang menafikan nilai-nilai etika-religius, moralitas dan humanistis.15

Akibat dari hal tersebut, muncullah berbagai ragam gejala demokrasi, dekadensi, egoisme dan individualisme serta apatisme yang bersumber pada frustasi yang semakin membengkak, juga stress-sosial (ketegangan batin masyarakat) yang semakin menumpuk menumpuk dalam lapisan jiwa bawah sadar yang sewaktu-waktu dapat meletup dan meledak kepermukaan kehidupan masyarakat. Apalagi jika kekuatan atau daya pengendali mental-psikologis mereka tidak dapat bekerja dengan baik dalam setiap kelompok masyarakat itu.

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD “ Arifin mengatakan bahwa bila dilihat dari segi psikologis merupakan akibat terjangkitnya benih-benih penyakit mental yang sangat rentan terhadap timbulnya apa yang disebut teufel-kreis (lingkaran setan) yang sulit untuk di atasi (Arifin, 1993).16 Lingkaran setan inilah yang menjadi sumber pokokdari hambatan dan tantangan pendidikan dan pembelajaran agama kepada masyarakat.

Prinsipnya yang paling fundamental adalah antara kesenjangan hidup berkat dampak kemajuan iptek dengan tuntutan kebutuhan hidup harus dijembatani atau dipersempit rentangnya dengan penanaman nilai-nilai agama yang mendasari kekuatan sikap mental dan moral-spiritual perilaku lahiriah manusia secara individu sebagai anggota masyarakat. Nilai-nilai agama sebagai kekuatan mental dan moral-spiritual pribadi tersebut akan menjadi daya tangkal masyarakat terhadap segenap ronrongan infiltrasi dari dampak negatif kemajuan iptek modern yang semakin canggih.

Itulah sebabnya agama beserta nilai-nilai yang dikandungnya diwahyukan oleh Tuhan kepada Rosul-Nya untuk merubah pandangan dan perilaku hidup manusia yang menyimpang dari garis-garis normatif-religius kepada jalan yang lurus yang diridhoi-Nya. Perubahan dan pandangan perilaku ini menjadi sumber kekuatan mental-spiritual untuk membebaskan diri dari tekanan psikologis sebagai akibat dari perubahan pola hidup masyarakat.

Untuk itu, kehidupan yang paling ideal pada era masyarakat madani sekarang ini dan mungkin yang akan datang adalah apabila kekuatan iman dan taqwa sebagai buah dari pendidikan dan pembelajaran agama mampu menjadi pengendali, penyeleksi dan penyaring segala unsure kemajuan iptek yang secara intrinsic bersifat merusak mental dan moral-spiritual masyarakat. Dengan kehidupan yang demikian, induvidu dan masyarakat akan menemukan kehidupan yang sebenarnya atau kehidupan sejati yang selalu disinari oleh Nur Illahi.



d. Hambatan Sosial-Politik

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD “ Arifin mengatakan bahwa Dalam proses perubahan social-politik di Negara kita ini dapat kita lihat peristiwa-peristiwa yang anti social, sadisme, anarkhisme dan tindakan lain yang tidak berperikemanusiaan yang sama sekali bertentangan dan tidak mencerminkan nilai-nilai agama. Sasaran utama dari proses letupan perasaan frustasi yang telah mencapai tingkat “tinggi” ini adalah kelompok-kelompok kekuatan yang bertanggung jawab atas ketertindasan harkat dan martabat hidup mereka yaitu perangkat pengausa pemerintahan mereka sendiri, dimana kelompok yang membantu kekuatan tirani komunitas mereka menjadi sasaran (Arifin, 1993).17

Terhadap munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang berekonomi kuat, penyakit mental yang berupa stres dan frustasi social itu menimbulkan sikap negative masyarakat yang lemah ekonominya, yaitu berupa kecemburuan sosial pada tahap awal perkembangannya, dan akan berlanjut kepada tahap ledakan sosial-politik yang tidak terkendali oleh kekuatan moral dan etik sebagai titik klimaksnya. Peristiwa tragis semacam ini akan dapat diredam, apabila sistem social-politik dalam masyarakat dapat direlisasikan dengan sebaik-baiknya berdasarkan keadilan sosial yang memberikan kesejahteraan dan kemakmuran merata dalam segenap lapisan masyarakat.

Kondisi tersebut, apabila dicermati secara seksama dapat mengakibatkan pendidikan dan pembelajaran agama tidak bisa berjalan secara optimal. Hal ini disebabkan perbedaan kepentingan social-politik individu atau kelompok, yang kepentingan itu dapat mengalahkan kepentingan yang lebih besar dalam menciptakan kehidupan yang damai dan aman, sehingga nilai-nilai agama terabaikan. Sebab lainnya adalah beragamnya etnis, rasial, dan keagamaan yang berakibat tidak dapat ditemukan dan dikembangngkan nilai-nilai agama yang universal, yang merupakan nilai bersama, kendati perbedaan latar belakang keagamaan atau perbedaan adapt-istiadat karena latar belakang rasial atau etnis. Ini bukan masalah yang mudah. Tetapi, pendidikan agama merupakan proses belajar terus menerus bagi semua orang dan semua golongan.

Pemikiran tersebut menunjukkan bahwa, perubahan kondisi social-politik yang dipicu oleh perkembanganilmu dan teknologi yang pesat, membawa serta perubahan dalam cara berfikir, cara menilai, cara menghargai hidup dan kenyataan. Ini semua membawa kekaburan nilai-nilai agama yang ada dan kekaburan dimensi nilai yang sebenarnya selalu ada dalam proses perkembangan dan perubahan masyarakat, serta dalam pribadi individu. Oleh karena itu, semua pihak yang terlibat dalam pendidikan, khususnya guru, bertanggungjawab untuk:

1). Melihat implikasi nilai-nilai agama dalam setiap proses perubahan terjadi.

2). Membantu untuk berkembangnya nilai-nilai agama dalam diri individu siswa.

3). Membantu agar siswa dapat mengambil sikap dan keputusan dalam merencanakan kehidupan secara bermakna.

Apabila semua pihak yang terlibat dalam pendidikan, khususnya pendidikan agama dapat melaksanakan ketiga tahapan tersebut, maka tidak mustahil akan memberikan hasil yang optimal. Tetapi sebaliknya, apabila tidak melaksanakannya, maka pendidikan agama tidak mustahil akan terhambat oleh euforia persoalan social-politik yang pada akhirnya dapat berakibat runtuhnya martabat bangsa.

  1. Hambatan Kultural

Akibat kemajuan bidang teknologi informasi, elektronika dan komunikasi, berbagai permasalahan di dunia ini menjadi meng-global. Globalisasi menjadikan bumi makin menyempit. Berbagai masalah local mampu membawa dampak men-dunia. Norma dan etika dunia makin cepat menyebar, sehingga terjadi akulturasi nilai. Akulturasi nilai mengakibatkan hilangnya identitas nilai-nilai universal, sehingga nilai yang menjadi acuan semakin kabur sumbernya.

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD “ Di samping, itu menurut Mudhzar (1992) globalisasi juga mengakibatkan berkembangnya mass culture, karena pengaruh mass media, sehingga kultue tidak lagi bersifat local, melainkan nasional, bahkan global. Ini akan berakibat meningkatnya heterogenitas nilai dalam masyarakat, sehingga nilai agama yang diyakini seseorang tidak lagi mampu mengklaim sebagi sumber kebenaran tunggal pada diri individu18. Selain nilai-nilai agama yang dipelukkya, individumerasa perlu melengkapi dirinya dengan nilai-nilai lain yang datang dari sekitarnya, baik dari kesepakatan politik, ekonomi, maupun budaya. Kehadiran sejumlah nilai dari sumber yang berbeda secara bersandingan ini akan menimbulkan beberapa persoalan, terutama dalam memilih nilai-nilai tersebut. Apakah nilai-nilai agama yang harus dimenangkan dan nilai-nilai yang lain dikesampingkan? Kondisi demikian sering menjadi persoalan yang serius.

Realitas ini sangat tidak menguntungkan dalam pendidikan agama. Karena nilai-nilai agama yang bersifat universal yang seharusnya menjadi prioritas untuk pedoman bertindak, kadang disandingkan dengan nilai-nilai lain yang bersifat local. Hal ini disebabkan orang tidak lagi melacak dari mana sumber nilai itu, tetapai yang penting adalah lebih cocok dan menguntungkan bagi dirinya, sehiingga tidak ada upaya pemilihan nilai.

Pemilihan nilai berarti menentukan suatu nilai sesudah mempertimbangkan semua akibat-akibat dari setiap alternative yang ada. Individu yang tidak mengetahui akibat suatu alternative, berarti pula tidak mengetahui akibat yang akan terjadi nantinya, dan dia tidak akan bebasmenerima akibatnya. Misalnya, seseorang menggunakan narkoba, yang katanya bagi mereka yang memakai dapat menghilangkan stres dan seakan melayang ke “surga”, ternyata resikonya secara moral dan material sangat tinggi, berupa pemborosan uang dan sakit fisik secara mental. Apabila dia berpegang pada nilai-nilai agama, yang jelas-jelas melarangnya, maka dia akan selamat dari bahaya itu.

Kerap kali memang akibat pilihan seorang individu tidak dapat diketahui sebelumnya, tetapi bukan berarti bahwa tidak ada pilihan bebas. Begitu orang memahami akibat-akibatnya, dia harus mengevaluasi kembali berdasarkan kerangka normatif agama. Namun kadang-kadang seseorang sadar bahwa itu perbuatan salah, tetapi tetap saja dia lakukan tanpa harus mengevaluasi bahwa perbuatan itu salah berdasarkan nilai-nilai agama. Akibatnya, setelah kesalahannya menumpuk dan resikonya semakin parah, dia baru sadar bahwa perbuatan itu salah.

Untuk itu sesuatu yang harus dilakukan adalah dengan menanamkan nilai-nilai agama secara mantap kepada siswa atau individu, agar dia terhindar dari berbagai godaan dan gangguan cultural yang tidak menguntungkan, dilihat dari aspek moral dan spiritual. Penanaman itu harus dapat mem-pribadi kepada siswa, artinya dia betul-betul “memikirkan tentang suatu nilai-nilai agama, tidak sekedar menanggapi suatu nilai-nilai agama”. Sebab diantara dua term ini mempunyai makna yang berbeda. Memikirkan suatu nilai agama berarti individu sudah mulai memikirkan untuk membentuk atau menyiapkan suatu nilai untuk dilaksanakan, sedang menanggapi suatu nilai-nilai agama hanyalah “menanggapi” kalau suatu nilai dibicarakan orang, atau terdapat dalam satu karang, atau dengan kat lain, nilai-nilai agama hanya sekedar sebagai wacana. Dalam hal ini individu yang hanya menyatakan persetujuannya pada sesuatu yang sudah ditulis, diucapkan orang, sebenarnya memang sudah menuju ke arah pembetukan nilai, tetapi masih pada ambang pintu yang jauh sekali untuk mewujudkan nilai itu sendiri.

Pendidikan agam,a pada dasarnya bukan merupakan sesuatu yang harus diwacanakan, tetapi lebih merupakan sesuatu yang normatif-dogmatif-pragmatis, sehingga secara given harus dilaksanakan. Untuk itu, nilai-nilai agama memang sudah seharusnya diterapkan dalam realitas sosial, tidak harus terhambat oleh berbagai tantangan dan hambatan kultural yang menghinggapi kehidupan kita.19

  1. Cara atau Kiat untuk mengembangkan Minat Belajar Agama Islam Anak

Adapun beberapa upaya Meningkatkan minat belajar diantaranya adalah sebagai berikut:

          1. Optimalisasi Penerapan Prinsip Belajar

Upaya pembelajaran terkait dengan beberapa prinsip belajar :

  1. Belajar menjadi bermakna bila siswa memahami tujuan belajar. Oleh karena itu guru perlu menjelaskan tujuan belajar secara hierarkis.

  2. Belajar menjadi bermakna bila siswa dihadapkan pada pemecahan masalah yang menantangnya. Oleh karena itu peletakan urutan masalah yang menantang harus disusun guru dengan baik.

  3. Belajar menjadi bermakna bila guru mampu memusatkan segala kemampuan mental siswa dalam program kegiatan tertentu.

  4. Sesuai dengan perkambangan jiwa siswa, maka kebutuhan bahan-bahan belajar siswa semakin bertambah.

  5. Belajar menjadi menantang bila siswa memahami prinsip penilaian dan faedah nilai belajarnya bagi kehidupan dikemudian hari.

    1. Optimalisasi Unsur Dinamis Belajar dan Pembelajaran

  1. Pemberian kesempatan pada siswa untuk mengungkap hambatan belajar yang dialaminya.

  2. Memelihara minat, kemauan, dan semangat belajarnya sehingga terwujud tindak belajar.

  3. Meminta kesempatan pada orang tua siswa atau wali, agar memberi kesempatan pada siswa untuk beraktualisasi diri dalam belajar.

  4. Memanfaatkan unsur-unsur lingkungan yang mendorong belajar.

  5. Menggunakan waktu secara tertib, penguat dan suasana gembira terpusat pada perilaku belajar.

  6. Guru merangsang siswa dengan penguatan pembari rasa percaya diri bahwa ia dapat mengatasi segala hambatan dan pasti berhasil.

  7. Optimalisasi Pemanfaatan Pengalaman dan Kemampuan Siswa

  8. Siswa ditugasi membaca bahan belajar sebelumnya, tiap membaca bahan belajar siswa mencatat hal-hal yang sukar dan diserahkan pada guru.

  9. Guru mempelajari hal-hal yang sukar bagi siswa.

  10. Guru memecahkan hal-hal yang sukar, dengan mencari cara memcahkan.

  11. Guru mengajarkan cara memecahkan dan mendidikkan keberanian mengatasi kesukaran.

  12. Guru mengajak serta siswa mengalami dan mengatasi kesukaran.

  13. Guru memberi kesempatan kepada siswa yang mampu memecahkan masalah untuk membantu rekan-rekannya yang mengalami kesukaran.

  14. Guru memberi penguatan para siswa yang berhasil mengatasi kesukaran belajarnya sendiri.

  15. Guru menghargai pengalaman dan kemampuan siswa agar belajar secara mandiri.

    1. Pengembangan Cita-cita dan aspirasi Belajar

  1. Guru menciptakan suasana belajar yang menggembirakan.

  2. Guru mengikutsertakan semua siswa untuk memelihara fasilitas belajar.

  3. Guru mengajak siswa untuk membuat perlombaan untuk belajar.

  4. Guru mengajak serta orang tua siswa untuk memperlengkap fasilitas belajar.

  5. Guru memberanikan siswa untuk mencatat keinginan-kainginan siswa yang tercapai dan tidak tercapai.

  6. Guru bekerja sama dengan pendidik lain, untuk mendidikkan dan mengembangkan cita-cita belajar sepanjang hayat.20








1 Djoko Witarko,Seri Panduan Rumah Belajar 1,Coca Cola Foundation Indonesia,Jakarta,2006,Hal.xi.

2putrabungsu-yahoo.blogspot.com/.../minat-siswa-belajar-pendidikan-agama_24.html - Tembolok - Mirip (Di kutip tanggal 26 Juli 2009)


3 http://www.sdm4sby.com/index.php

4 Ibid, hal. 41.

5 Joko Witarko,Loc Cit,.hal.55.

6 Drs.H. Nashar, M. Ag.,Loc.Cit,.hal.50.

7 Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM.,Manajeman Pembelajaran,Sukses Offset,Yogjakarta,2007,hal.35.

8 Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM,Ibid.,Hal.35.

9 Ibid.,Hal.36.

10 Ibid.,Hal.37.


11 http://www.luwzee.blog.friendster.com/.../tinjauan-tentang-minat-belajar-anak/

12 Drs. H. Mgs. Nazarudin, M.M., Op. Cit..,Hal.17.


13 Darmiyati Zuchdi, yang berjudul ,Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD,Bumi Aksara,Jakarta,2009,hal.49

14 Darmiyati Zuchdi,Ibid.,hal.53.

15 Ibid,hal.57.

16 Ibid,hal.60.

17 Ibid,hal.65.

18 Ibid,hal.67.

19 Ibid,hal.67.

20 Abdul Rahman Shaleh,Psikologi Suatu Pengantar Dalam Perspektif Islam,Prenada Media,Jakarta,2004,hal.128.

BAB II

RUMAH BELAJAR GANECHA DALAM MENINGKAT MINAT BELAJAR AGAMA ISLAM ANAK


        1. RUMAH BELAJAR

1. Pengertian Rumah Belajar

Rumah Belajar adalah perpustakaan yang juga tempat belajar kegiatan yang menyediakan informasi dari koleksi dan juga kegiatanya.1 Secara fisik rumah belajar ganecha adalah tempat seperti halnya perpustakaan. Pada fungsi lebih lanjut rumah belajar dapt saaja berwujud jariangan sistem informasi seperti perpuskaan elektronik. Tetapi lebih dari itu rumah belajar juga terwujud kegiatan. Rumah belajar ibarat perpustakaaan hidup yang menyediakan informasi tidak hanya dari koleksi dan sistem jaringan yang di bangaun tetapi juga dari semua pengguna dan terutama dari aktivitas layanan yang di ciptakan.

Jika pendidikan memanggil manusia mmenjadi pribadi insemanusiawi yang semanusia mungkiin maka runah belajar ganecha memanggil siapa saja,kapan saja dan mana saja. Untuk memberi arti baru dari kata belajar yang tidak saja memasukan berbagai infornasi kedalam diri(outside in) teapi juga menjadikan apa yang ada dalam diri keluar menjadi tutur kata sikap,perilaku,ketrampilan, keahlian.

      1. Jenis-jenis Bimbingan Belajar

Bimbingan belajar diberikan guru kepada peserta didik agar memiliki kemampuan optimal dalam mengembangkan seluruh potensi dirinya. Bimbimgan dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek kemampuan dan minat peserta didik.

  1. Penyelenggaraan bimbingan belajar dilakukan berdasarkan perencanaan yang matang. Perencanaan bimbingan seyogyanya

merupakan hasil sharing dengan seluruh komponen pendukung sekolah dan berdasarkan analisa kebutuhan pembelajaran.

  1. Perencanaan bimbingan belajar ditekankan kepada upaya membiasakan berperilaku terpuji, kretif, memahami dunia kerja dan mengembangkan kemampuan dasar, dan membuat perencanaan serta matang dalam mengambil keputusan.

c. .Perencanaan bimbingan belajar ditujukan kepada penyiapan peserta didik untuk melanjutkann pendidikan tinggi atau memasuki lapangan kerja. Perlu pula direncanakan bimbingan yang diberikan kepada peserta didik selama mengikuti pelaksanaan program perbaikan dalam rangka mencapai kemampuan dasar yang tercantum dalam kurikulum nasional.


        1. MINAT BELAJAR AGAMA ISLAM

              1. Pengertian Minat Belajar Agama Islam

Minat dalam pengertian umum adalah “Sesuatu yang menimbulkan perhatian yang kuat Maksudnya segala sesuatu hal yang menimbulkan keinginan dan perhatian yang kuat dikatakan dengan minat atau kemauan. Minat terhadap sesuatu hal akan timbul apabila seseorang menaruh perhatian terhadap obyek itu. Perhatian ini dapat terjadi dengan sendirinya maupun karena pengaruh dari luar, terutama dari lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.Untuk membangkitkan minat ini diperlukan beberapa syarat, seperti: obyek itu harus menarik perhatian, baik karena warna yang kontras, bunyi, atau gerakannya. Di sekolah, seorang guru perlu menggunakan alat peraga atau model untuk menarik perhatian murid. Ini sekaligus untuk mengurangi proses abstraksi yang masih sulit bagi anak.2



Menumbuhkan minat belajar anak membutuhkan proses yang tidak instan. Pertama menumbuhkan terlebih dahulu rasa butuh akan manfaat suatu pelajaran. Misalnya ketika orangtua berharap anak memiliki kesadaran belajar Agama. Sebelum ditanya PR, perlu sesekali tanyakan ”adakah yang menarik di kelas...? siapa teman yang kamu sukai dan tidak sukai...? kenapa kamu menyukai atau tidak menyukai...? apa yang kamu lakukan pada mereka ? ada gak pelajaran yang membahas kerukunan? ”. Menurut kamu apa manfaatnya setelah belajar kerukunan ?.”

Kedua menjadikan anak sebagai partner belajar. Tidak selamanya orangtua harus selalu tampak pintar, adakalanya perlu sesekali kelihatan bodoh dan tidak tahu untuk memancing penjelasan anak. Hal ini bisa mendorong anak untuk lebih percaya diri dan mencari sebanyak mungkin informasi baik dari guru, buku bacaan maupun media elektronik yang tersedia.

Ketiga, Kunjungan edukasi keluarga. Tidak harus mahal dan menggunakan perijinan yang rumit.. Sesekali ajak anak ke pasar tradisional untuk melalukan transaksi jual beli. Karena selama ini jika ke Mall, belanja menjadi sangat individualis tanpa ada transaksi yang melibatkan emosi dan sosialisai. Datangkan langsung ke sumber-sumber kehidupan sehari-hari.misalnya peternakan sapi, kemudian dilanjutkan ke pabrik pembutan susu. Dia belajar proses proses produksi – distribusi sampai konsumsi. Dorong anak tidak selamanya menjadi konsumen tetapi perlu menjadi produsen. Hal ini akan mengurangi gaya hidup konsumtif dan meningkatkan nilai produktivitas SDM yang akan datang. . Misalnya membuat kertas daur ulang atau menyediakan bibit tanaman buah-buahan.

Keempat, menjadikan anak sebagai pelopor. Seringkali memulai kebaikan memang tidak mudah. Misalnya dalam global warming, di sekolah mereka sudah belajar teorinya. Tapi bagaimana anak juga juga menyelaraskan teori dengan aksi. Maka latihlah menjadi anak yang ”beda’. Jika kebanyakan anak berangkat diantar mobil, sepeda motor atau mobil angkutan. Maka latihlah sesekali menggunakan sepeda atau dengan jalan kaki jika jaraknya dekat. Selain sehat juga mengurangi polusi udara yang menimbulkan efek rumah kaca. Tidak hanya sendiri tapi orangtuapun memulai gerakan yang sama.

Keempat tahap diatas membutuhkan kerja sama serta komunikasi yang intensif antara sekolah dan rumah (orangtua). Keduanya memiliki hubungan yang komplementer (saling melengkapi) bukan saling menggantungkan. Guru atau sekolah tidak hanya menjadikan orang tua atau rumah sebagai kambing hitam ketidakmampuan dan kemalasan anak dalam belajar begitupun orangtua tidak menggantungngkan 100 % tercapainya tujuan pendidikan lewat sekolah3

Suatu minat dapat berkembang seiring dengan kebiasaan yang sering dilakuka, dimana kebiasaan dapat diartikan suatu sikap atau kegiatan yang bermanfaat fisik atau mental yang telah mendarah daging atau membudidaya dalam diri seseorang.4 Minat dan motifasi sangat menentukan terbentuknya suatu kebiasaan,akan tetapi memang memerlukan waktu yang lama.

Belajar merupakan perubahan tingkah laku, perubahan itu mangarah pada tingakah laku yang baik, yang terjadi melalui latihan atau pengalaman.5

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Drs.H. Nashar, M. Ag yang berjudul “Peranan Motivasi dan Kemampuan Awal dalam Kegiatan pembelajaran”,Kohman Abror berpendapt bahwa belajar yaitu: (1) menimbulkan perubahan yanga relatif tetap. (2) perubahan itu membedakan antara keadaan sebelum individu berada dalam situasi belajar dan sesudah diberlakukan belajar. (3) perubahan itu dilakukan lewat kegiatan, usaha atau praktek yang disengaja atau yang diperkuat.6

Agama Islam merupakan suatu sistem aqidah dan syariah serta akhlak yang mengatur hidup dan kehidupan dalam berbagai hubungan. Ruang lingkupnya lebih luas dari ruang lingkup agama nasrani yang hanya mengatur hubungan manusia dan Tuhan. Agama Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia denagan manusia dalam masyarakat termasuk dengan diri manusia itu sendiri tetapi juga dengan alam sekitarnya yang kini terkenal dengan lingkungan Islam.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat penulis simpulkan bahwa minat belajar agama islam adalah kemauan untuk merubah tingkah laku sesuai sistem aqidah serta ahlak yang mengatur hidup dan kehidupan dalam berbagai hubungan.

              1. Teori-teori Belajar Agama Islam Anak.

Ada beberapa strategi pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru Pendidikan Agama Islam dalam rangka mewujudkan proses pembelajaran yang actual seperti dimaksud, yaitu:

  1. Terpusat Pada Guru

Strategi pembelajaran yang terpusat pada guru adalah pembelajaran yang menempatkan guru sebagai pemberi informasi, Pembina dan pengarah satu-satunya dalam proses belajar mengajar. Model didasarkan pada konsep mengajar yang bersifat rasionalitas akademis yang menekankan segi pemberian pengetahuan semata-mata, dengan tidak melihat bahwa pengajaran juga harus mengandung maksud pembinaan dan pengembangan terhadap berbagai potensi yang dimiliki para siswa.

Sebagai akibat dari konsep mengajar yang demikian itu, maka seorang guru yang mengajar mencakupkan dirinya pada penguasaan bahan pelajaran semata-mata, tanpa harus mengetahui nilai-nila,I apa saja yang dapat disentuh oleh materi pelajaran yang akan diberikan kepada siswanya. Dalam keadaan yang demikian, yang terjadi pengajaran dan bukan pendidikan. Dari pengajaran yang demikian itu, dapat dihasilkan siswa-siswa yang cukup luas pengetahuannya, tetapi tidak cukup mantap kepribadiannya, dan kalau hal ini sempat terjadi, maka kita menghadapi situasi yang cukup gawat.

Akibat lanjut dari sistem pengajaran ini, akan mudah bagi seorang guru untuk terjebak kedalam perbuatan pamer pengetahuan, ketika ia berdiri di depan kelas. Ia sibuk sekali didepan kelas, tetapi tidak mendidik, tidak pula mengajar, tetapi asyik membeberkan pengetahuan yang dimilikimya dan asyik menikmati kekagumanyang diperlihatkan siswa-siswanya.

Selanjutnya, jika pamer pengetahuan tersebut terjadi tanpa sengaja, dan dampak yang ditimbulkannya hanya kekaguman siswa, maka hal yang demikian masih dapat dinilai wajar. Akan tetapi, apabila pamer pengetahuan ini sudah merupakan suatu perbuatan yang disengaja, secara pedagogis yang dihadapi adalah situasi yang tidak etis. Yang dijumpai dalam hal ini ialah guru yang menyalahgunakan kelemahan-kelemahan para siswa : kekurangan pengetahuan mereka, keterbatasan pengalaman hidup mereka dan ketidakberdayaan mereka dalam menghadap gurunya. Dampak yang akan timbul dari keadaan tersebut bukan kekaguman lagi kepada guru, melainkan kebingungan siswa tentang pelajaran yang diterima dan ketakutan siswa terhadap diri sang guru. Ironisnya adalah bahwa dalam masyarakat kita masih ada sekelompok guru atau dosen yang justru menikmati ketakutan dan kebingungan para siswa atau mahasiswanya. Jika keadaan ini sudah terjadi dengan sengaja, masalahnya bukan karena kesalahan pedagogis melainkan sikap tidak etis dan dosa pedagogis.

Model pengajaran yang demikian itu banyak terjadi pada Negara-negara berkembang, dan lebih khusus lagi pada masyarakat pedesaan yang belum tersentuh perkembangan dibidang informasi. Kita misalnya melihat bahwa dipedesaan masih terbatas sarana informasi yang memuat ilmu pengetahuan danb teknologi, seperti buku, majalah, surat kabar, dan sebagainya. Dalam keadaan yang demikian, sumber informasi sepenuhnya berada ditangan guru. Gurulah satu-satunya sumber informasi, dimana para siswa dan masyarakat sekitarnya amat bergantung kepadanya. Keadaan ini berbeda dengan masyarakat yang sudah maju seperti di perkotaaan dimana sumber informasi sudah banyak dkijumpai.

  1. Terpusat Pada Siswa.

Seiring dengan kemajuan yang terjadi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, konsep pembelajaran pun mengalami perubahan, yaitu dari yang semula berpusat pada guru, menjadi lebih berpusat pada siswa. Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM., yang berjudul “Manajeman Pembelajaran” Chauhan berpendapat bahwa Dalam hubungan ini, seorang pakar pendidikan mengatakan bahwa mengajar adalah “upaya dalam memberikan perangsang (stimulasi), bimbingan dan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar” (Chauhan, 1979:46).7 Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM., yang berjudul “Manajeman Pembelajaran” Burton berpendapat bahwa Pandangan ini sejalan dengan pendapat Gagne dan Briggs yang mengatakan bahwa is a set of events which affect learness in such way that learning is facilitated. Yaitu menciptakan berbagai peluang yang berpengaruh terhadap proses belajar yang dengan sendirinya tercipta berbagai kebutuhan belajar “(Burton, 1944:72).8 Dengan demikian dalam mengajar yang penting bukan upaya guru menyampaikan bahan, melainkan bagaimana siswa dapat mempelajari bahan sesuai dengan tujuan. Dalam hal ini upaya penting yang harus dilakukan adalah menciptakan serangkaian peristiwa yang dapat mempengaruhi siswa belajar. Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM., yang berjudul “Manajeman Pembelajaran” Burton berpendapat bahwa “Peran guru mengalami pergeseran dari yang semula sebagai satu-satunya pemberi informasi, menjadi sebagai orang yang bertindak sebagai direcror and facilitator of learning, yakni pengarah dan pemberi fasilitas untuk terjadinya proses belajar. Sejalan dengan ini harus diakui akan kebenaran pernyataan bahwa pengajaran itu pada hakekatnya adalah suatu proses yang mengandung makna, bukan semata-mata proses yang mekanis”(Burton, 1944:72).9

Konsep belajar tersebut mengisyaratkan pentingnya siswa sebagai faktor dominant dalam merencanakan kegiatan belajar mengajar. Hal ini sebagai kebalikan dari metode pembelajaran yang terpusat pada guru sebagaimana disebutkan diatas.

  1. Terpusat Pada Guru dan Siswa.

Jika pada strategi pertama kegiatan belajar mengajar didominasi oleh guru, dan strategi, dan strategi yang kedua kegiatan belajar mengajar oleh siswa, maka pada strategi yang ketiga kegiatan belajar mengajar tidak terpusat pada salah satu dari keduanya, tetapi terjadi interaksi antara guru dan siswa secara bersama-sama. Dalam kaitan ini belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbale balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan timbale balik antara guru dan siswa tersebut merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar mengajar. Interaksi dalam peristiwa belajar mengajar mempunyai arti yang lebih luas, yaitu tidak hanya sekedar hubungan antara guru dengan siswa, tetapi berupa interaksi edukatif. Dalam hubungan ini tugas seorang guru bukan hanya menyampaikan pesan berupa materi pelajaran, melainkan pemahaman sikap dan nilai pada diri siswa yang sedang belajar.

Sejalan dengan uraian tersebut maka proses belajar mengajar mempunyai makna dan pengertian yang lebih luas daripada pengertian mengajar dalam arti memberikan bekal pengetahuan semata-mata. Dalam proses belajar mengajar, tersirat adanya satu kesatuan kegiatan yang tak terpisahkan antara siswa yang belajar dengan guru yang mengajar. Antara dua kegiatan ini terjalin interaksi yang saling menunjang.

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM., yang berjudul “Manajeman Pembelajaran” Burton berpendapat bahwa “Peranan guru yang terpenting adalah menciptakan serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan, dan dilakukan dalam situasi tertentu, serta berhubungan dengan kemajuan dalam bidang perubahan tingkah laku dan perkembangan siswa yang menjadi tujuannya”(Burton, 1944:56).10

Dengan demikian dalam proses interaksi belajar mengajar itu target yang ingin dicapai bukan hanya pengajaran, melainkan juga pendidikan secara sekaligus. Untuk itu seorang guru harus tahu nilai-nilai apa yang dapat disentuh oleh materi pelajaran yang akan diberikan kepada siswanya. Guru harus tahu sifat-sifat kepribadian apa yang dapat dirangsang pertumbuhannya melalui materi pelajaran yang akan disajikan. Misalnya dapatkah suatu gugus materi pelajaran matematika dipergunakan untuk merangsang pertumbuhan nilai-nilai kejujuran, ketelitian, dan keuletan kerja pada diri para siswa.

Pertanyaan semacam itulah yang seharusnya dipikirkan oleh seorang guru yang ingin meningkatkan perbuatan mengajar yang dilakukannya menjadi perbuatan mendidik. Ini bukan suatu hal yang mudah. Inilah sebabnya mengapa banyak guru yang tidak selalu berhasil meningkatkan diri mereka menjadi pendidik. Mereka terpaku pada aspek-aspek pengajaran dalam m,elaksanakan tugas mereka sehari-hari. Ini tidak berarti pula bahwa pekerjaan mengajar itu mudah. Untuk mengajar dengan baik, diperlukan sikap tertentu, yaitu sikap gemar mencari pengetahuan baru dan senang berbagi pengetahuan dengan orang lain. Orang yang sudah merasa puas dengan pengetahuan yang telah dimilikinya tidak akan dapat menjadi pengajar yang baik.

Disamping masalah sikap ini, diperlukan pula ketrampilan dan kemampuan tertentu untuk mejadi pengajar yang baik. Antara lain ketrampilan untuk menyajikan suatu bahan pelajaran secara sistematik, kemampuan untuk memahami dan menyelami alam pikiran para siswa, dan kemampuan untuk meramu bahan pelajaran, sehingga tersusun suatu program pelajaran yang relecan dengan realitas yang terdapat dalam kehidupan para siswa. Memupuk sikap, ketrampilan serta kemampuan seperti ini memerlukan iktiar dan waktu.

  1. Strategi mana yang harus digunakan

Ketiga macam strategi pembelajaran sebagaimana disebutkan diatas dapat digunakan sesuai dengan lingkungan sosial dimana kegiatan pengajaran itu dilakukan. Bagi masyarakat agraris yang serba kurang informasi kecenderungan untuk menerapkan model pembelajaran yang terpusat pada guru tampak cukup dominant, sebagaimana hal yang demikian itu masih dapat dijumpai pada berbagai daerah dipedesaan di Indonesia. Selanjutnya, bagi masyarakat modern yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dengan pola hidup yang cenderung liberal, tampaknya metode pembelajaran yang memusat pada murid cukup dominant. Mata pelajaran atau program studi yang akan dipelajari ditentukan oleh kemauan dan pesanan para murid. Sementara pada masyarakat yang masih dalam keadaan transisi antara dua kebudayaan tersebut, yaitu antara kebudayaan agraris dan kebudayaan modern, pembelajaran yang memadukan antara kehendak guru dan murid tampaknya merupakan alternative yang pas.

Selanjutnya, perlu dicatat bahwa penentuan pilihan pada salah satu strategi pembelajaran tersebut, selain berimplikasi pada konsep belajar mengajar sebagaimana disebutkan diatas, juga akan memberikan implikasi pada seluruh aspek pendidikan, mulai dari perumusan tujuan pendidikan, kurikulum, materi pendidikan, metode dan pendekatan, sarana prasarana, lingkungan pendidikan, evaluasi dan sebagainya.

Pada strategi pembelajaran yang memusat pada guru misalnya, seluruh aspek pendidikan tersebut ditentukan oleh guru. Dengan demikian, gurulah yang menetukan tujuan pendidikan yang ingin dicapai; kurikulum atau mata-mata kuliah yang akan diberikan; materi pelajaran yang diajarkan; metode dan pendekatan dalam mengajar yang akan digunakan; sarana prasarana yang akan diperlukan; lingkungan pendidikan yang dibutuhkan serta model evaluasi yang ingin ditempuh. Dalam keadaan demikian murud tidak dijadikan factor dalam merumuskan metode pembelajaran yang akan diterapkan, tetapi hanya dijadikan objek atau sasaran dari kehendak guru. Beruntung jika segala sesuatu yang dirancang oleh guru itu merupakan halhal yang akan mendatangkan manfaat bagi murid. Namun, alangkah ruginya para murid jika apa yang didapatnya dari pengajaran yang diberikan guru itu adalah sesuatu yang tidak lagi diperlukan oleh masyarakat. Dalam keadaan yang demikian, guru atau lembaga pendidikan harus bertanggung jawab atas nasib kehidupan para lulusannya; karena guru atau lembaga pendidikan tersebut telah menghasilkan lulusan yang bermasalah. Implikasi dari metode pembelajaran yang berpusat pada guru atau lembaga pendidikan semacam ini masih banyak dijumpai pada masyarakat Indonesia, khususnya di pedesaan mengngingat para siswa atau masyarakat berada dalam posisi yang lemah dalam menentukan atau ikut serta merancang pendidikan yang diberikan kepadanya.

Untuk melengkapi pengertian mengenai makna belajar, perlu kiranya dikemukakan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan belajar siswa. dalam hal ini ada beberapa prinsip yang penting untuk diketahui, antara lain :

  1. Belajar pada hakekatnya menyangkut potensi manusiawi dan kelakuannya.

  2. Belajar memerlukan proses dan pemantapan serta kematangan diri siswa.

  3. Belajar akan lebih mantap dan efektif, bila didorong dengan motivasi, terutama motivasi dari dalam atas dasar kebutuhan atau kesadaran (instrinsic motivation), lain halnya belajar dengan karena rasa takut atau dibarengi dengan rasa tertekan dan menderita.

  4. Dalam banyak hal belajar itu merupakan proses percobaan (dengan kemungkinan berbuat keliru) dan conditioning atau pembiasan.

  5. Kemambuan belajar seseorang siswa harus diperhitungkan dalam rangka menentukan isi pelajaran.

  6. Belajar dapat melakukan tiga cara :

  1. Diajar secara langsung.

  2. Kontrol, kontak, penghayatan, pengalaman langsung (seperti anak belajar bicara, sopan santun, dan lain-lain)

  3. Pengenalan dan/atau peniruan.

  1. Belajar melalui praktek atau mengalami secara langsung aakn lebih efektif mampu membina sikap, keterampilan, cara berfikir kritis dan lain-lain, bila dibandingkan dengan belajar hafalan saja.

  2. Perkembangan pengalaman anak didik akan banyak mempengaruhi kemampuan belajar yang bersangkutan.

  3. Bahan pelajaran yang bermakna atau berarti, lebih mudah dan menarik untuk dipelajari, daripada bahan yang kurang bermakna.

  4. Informasi tentang kelakuan baik, pengetahun, kesalahan serta keberhasilan siswa, banyak membantu kelancaran dan gairah belajar.

  5. Belajar sedapat mungkin diubah ke dalam bentuk aneka ragam tugas, sehingga anak-anak melakukan dialog dalam dirinya atau mengalaminya sendiri.11

              1. Tujuan Belajar Agama Islam dan fungsi belajar Pendidikan Agama Islam

Pendidikan Agama Islam bertujuan memberi bekal kemampuan dasar keadaan peserta didik meliputi:

    1. Memiliki dasar keimanan yang mantap

    2. Mengetahui ketentuan dasar beribadah.

    3. Gemar membaca dan menulis huruf Al-Quran.

    4. Melaksanakan puasa, infak dan sedekah

    5. Bertatakrama dan berperilaku terpuji

    6. Menghayati nilai-nilai keteladanan para rosul dan sahabat.

Pendidikan Agama Islam, baik sebagai penanaman keimanan dan seterusnya maupun sebagai materi (bahan ajar) memiliki fungsi yang jelas.Fungsi Pendidikan Agama Islam adalah sebagai berikut :

    1. Pengembangan; yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Pada dasarnya dan pertama- tama menanamkan kuwajiban menanamkan keimanan dan ketaqwaan dilingkungan oleh setiap orang tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuhkembangkan lebih lanjut dalam diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan ketaqwaan tersebut dapat berkembangan secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.

    2. Penyaluran; yaitu untuk mernyalurkan peserta didik yang memiliki bakat khusus dibidang agama agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal sehingga dapat dimangfaatkan untuk dirinya sendiri dan dapat pula bermanfaat untuk orang lain.

    3. Perbaikan; yaitu untuk memperbaikai kesalahan- kesalahan, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan dalam keyakinan,pemahaman dan pengamalan ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari.

    4. Pencegahan; Yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari lingkungan peserta didik atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dan menghambat perkembangan dirinya menuju manusia Indonesia seutuhnya.

    5. Penyesuaian; yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik linkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran Islam.

    6. Sumber nilai; yaitu memberikan pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

    7. Pengajaran; yaitu untuk menyampaikan pengetahuan keagamaan yang fungsional.12

  1. Faktor Penghambat Minat Belajar Agama Islam

Tantangan dunia pendidikan pada umumnya bukanlah permasalahan yang berdiri sendiri, tetapi terkait baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perkembangan iptek dan aspek kehidupan yang lain, baik ekonomi, politik, maupun social budaya. Berbagai tantangan yang dihadapai dunia pendidikan pada umumnya juga harus dihadapi oleh pendidikan agama sebagai bagian dari pendidikan bangsa. Kalau dunia pendidikan di Indonesiaproses memerlukan berbagai inovasi agar tetap berfungsi optimal ditengah arus perubahan, maka pendidikan agama juga memerlukan berbagai upaya inovasi agar eksistensinya tetap bermakna bagi kehidupan bangsa.

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa, hambatan pendidikan agama yang begitu kompleks pada dasarnya dapat dikelompokkan kedalam dua macam, yaitu hambatan internal dan eksternal. Hambatan internal menyangkut sisi pendidikan agama sebagai program pendidikan baik dari segi pemahaman terhadap materi Pendidikan Agama Islam, perancangan, maupun pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan agama Islam itu sendiri. Hambatan eksternal berupa hubungan kemajuan iptek, era globalisasi dibidang informasi, perubahan sosial ekonomi dan budaya dengan segala dampaknya. Problem yang merupakan konsekuensi logis dari perkembangan iptek yang menuju proses globalisasi dan derasnya arus informasi, menyebabkan permasalahan yang sangat kompleks, tidak terkecuali pendidikan agama. Sebab proses ini nyatanya lebih mementingkan materi dan mengesampingkan agama.

Berbagai macam tantangan Pendidikan Agama Islam tersebut sebenarnya dihadapi oleh semua pihak, baik keluarga, pemerintah , maupun masyarakat, baik yang terkait langsung ataupun tidak langsung dengan kegiatan pendidikan agama Islam. Namun demikian, guru Pendidikan Agama Islam di sekolah yang terkait langsung dengan pelaksanaan pendidikan Islam dituntut untuk mampu menjawab dan mengantisipasi berbagai tantangan tersebut. Untuk mkengantisipasinya, diperlukan adanya profil guru Pendidikan Agama Islam di sekolah yang mampu menampilkan sosok kualitas personal atau professional dalam menjalankan tugasnya. Dengan ini diharapkan performance dia dalam membelajarkan pendidikan agama Islam betul-betul dapat dipertanggung jawabkan, baik secara intelektual, moral, maupun spiritual, sehingga kepribadian dia dapat menjadi kurikulum tersembunyi bagi siswa.

  1. Tantangan Internal

Sebagaimana uraian terdahulu, bahwa selama ini terdapat berbagai kritik dan sekaligus solusi terhadap pelaksanaan pendidikan agama yang sedang berlangsung di sekolah. Secara konseptual-teoritis, kritik dan solusi tesebut telah dijadikan pertimbangan dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama di sekolah. Untuk itu, dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK) salah satu rekomendasinya dinyatakan bahwa, pendidikan agama harus dilaksanakan secara terpadu, yakni keterpaduan pembinaan antara tiga lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, serta keterpaduan antara pendidikan agama dengan perkembangan iptek. Karena itu, pelaksanaan Pendidikan Agama Islam disekolah harus mampu memenuhi tuntutan tersebut. Di samping itu, Andi Rasdinah mengemukakan beberapa kelemahan lainnya dari pendidikan agama islam di sekolah, bik dalam pemahaman materi Pendidikan agama Islam maupun dalam pelaksanaannya, yaitu:

1). Dalam bidang teologi, ada kecenderungan mengarah kepada faham fatalistik.

2). Bidang akhlak berorientasi pada urusan sopan santun dan belum difahami sebagai ikeseluruhan pribadi manusia beragama.

3). Bidang ibadah diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan kepribadian.

4). Dalam bidang hukum (fiqih) cenderung dipelajari sebagai tata aturan yang tidak akan berubah sepanjang masa, dan kurang memahami dinamika dan jiwa hukum Islam.

5). Agama Islam cenderung diajarkan sebagai dogma dan kurang mengembangkan rasionalitas serta kecintaan pada ilmu pengetahuan.

6). Orientasi mempelajari Al-Quran masih cenderung kepada kemampuan membaca teks, belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna.

Towaf juga mengamati adanya kelemahan-kelemahan Pendidikan Agama Islam di sekolah, antara lain:

1). Pendekatan masih cenderung normative, dalam arti pendidikan agama menyajikan norma-norma yang sering kali tanpa ilustrasi konteks social budaya, sehingga siswa kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian.

2). Kurikulum pendidikan agama Islam yang dirancang disekolah sebenarnya lebih menawarkan minimum kompetensi atau minimum informasi, tetapi pihak guru Pendidikan Agama Islam seringkali terpaku padanya, sehingga semangat untuk memperkaya kurikulum dengan pengalaman belajar yang bervariasi kurang tumbuh.

3). Sebagai dampak yang menyertai situasi diatas, maka guru Pendidikan Agama Islam kurang berupaya menggali berbagi metode yang mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agama, sehingga pelaksanaan pembelajaran cenderung monoton.

4). Keterbatasan sarana atau prasarana, sehingga pengelolaan cenderung seadanya. Pendidikan agama yang diklaim sebagai aspek yang penting seringkali kurang diberi prioritas dalam urusan fasilitas.

Tantangan Pendidikan Agama Islam juga terkait dengan tantangan dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya, terutama dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia itu, yaitu:

1). Era kompetitif yang disebabkan oleh meningkatnya standar dunia kerja.

2). Jika kualitas pendidikan menurun, maka kualitas sumber daya manusia juga menurun dan lemah pula dalam hal keimanan dan ketaqwaan serta penguasaan iptek.

3). Kemajuan teknologi informasi menyebabkan banjirnya informasi yang tidak terakses dengan baik oleh para guru dan pada gilirannya berpengaruh pada hasil pendidikan.

4). Dunia pendidikan tertinggal dalam hal metodologi.

5). Kesenjangan antara kualitas pendidikan dengan kenyataan empiric perkembangan masyarakat.

b. Tantangan Eksternal (global)

Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa awal perkembangan sains modern (sekitar abad 16/17 M) pernah terjadi perpecahan antara kaum agamawan dan ilmuan, yang ditandai dengan sikap keras kaum agamawan Eropa (penganut geosentris) kepada penganut faham heliosentris, seperti Copernicus, Bruno, Kepler, Galileo, dan lain-lainnya. Metodologi yang dikembangkan oleh mereka mengandalkan kemampuan inderawi (empiris), sehingga kajian-kajian keagamaan yang bersifat non-inderawi dianggap tidak ilmiah.

Pengalaman sejarah juga menunjukkan bahwa di Negara yang sudah memasuki era industri, dimana masyarakatnya sangat mendambakan rasionalitas , efisiensi, teknikalitas, individualitas, mekanistis, materialistis, ternyata semua yang berbau sacred (suci) nyaris tidak mendapat tempat pada masyarakat itu. Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD” Ellul (1964) telah mengidentifikasi lima alasan sosiologis berdasarkan tradsi Nasrani, tentang mengapa orang semakin sedikit dan ogah dalam menjalankan nilai-nilai agama. Kelima alas an itu adalah:

1). Sekularisasi.

2). Iklim penalaran dan skeptisisme.

3). Ketidakpraktisan sembahyang.

4). Kerancuan sembahyang dan moralitas.

5). Keterbatasan bahasa atau berberlit-belitnya bahasa sembahyang.13

Namun demikian, kalau kita mengamati fenomena yang terjadi pada akhir abad 20 (di mana kemajuan iptek sudah begitu maju pesat), ternyata justru terhjadi sebaliknya. Dalam arti terjadi hubungan yang harmonis antara ilmuan dan agamawan. Temuan-temuan dalam bidang iptek yang kasat mata membuat ilmuan percaya pada banyak hal yang tidak terjangkau oleh indera. Hal ini muncul terutama ketika disadari bahwa isi dalam alam semesta ini terdiri atas atom-atom yang dapat diteliti lagi menjadi sub-sub atom. Karena itu, para ilmuan terperangah bahwa banyak hal yang harus dipercaya “ada”nya tanpa harus ditangkap oleh indera, termasuk electron, cahaya, gelombang radio, dan sebagainya. Di Indonesia, perpecahan antara ilmuan dan agamawan ternyata tak tercatat dalam sejarah perkembangan iptek, mlahan himbauan agar ilmuan dan agamawan saling mendukung sangat terdengar gemanya di Indonesia. Misalnya Baiquni mengatakan bahwa iptek terus menerus memerlukan bantuan agama; dan Mangunwajiwa juga mengajak kita untuk menarik hikmah dari Galileo-Galilei.

Munculnya ICMI juga merupakan kasus yang menarik untuk mengharmonoskan hubungan antara ilmuan dan agamawan. Oleh karena itu, pengalaman sejarah dari Negara industri tersebut setidak-tidaknya akan sulit muncul di Indonesia, bilamana benar-benar tercipta keserasian antara ilmu pengetahuan dan agama.

Dalam arti keyakinan beragama (sebagai hasil dari pendidikan agama) diharapkan mampu memperkuat upaya penguasaan dan pengembangan iptek, dan sebaliknya pengembangan iptek memperkuat keyakinan beragama. Ilmu pengetahuan berbicara know what dan know why, dan teknologi berbicara know how. Sedangkan agamalah yang bisa menuntun manusia untuk memilih mana yang patut, bis, benar dan baik dikembangkan dan dijalankan. Di sinilah letak peranan pendidikan agama (Islam) dan sekaligus pendidiknya (Guru Pendidikan Agama Islam di sekolah) dalam mengantisipasi perkembangan kemajuan iptek. Dalam arti, mampukah guru Pendidikan Agama Islam menegakkan landasan, yang menjadi tiang utama ajaran agama, tatkala domonasi temuan iptek sudah demikian hebat dan menguasai segala perbuatan dan pikiran umat mausia.

Temuan iptek telah menyebarkan hasil yang membawa kemajuan, dan dampaknya terasa bagi kehidupan seluruh umat manusia. Semua hasil temuan Iptek disatu sisi harus di akui telah secara nyata mempengaruhi bahkan memperbaiki taraf dan mutu hidup manusia. Di sisi lain produk temuan dan kemajuan iptek itu telah mempengaruhi bangunan kebudayaan dan gaya hidup manusia.

Dalam era kemajuan iptek ini perubahan global semakin cepat terjadi dengan adanya kemajuan-kemajuan dari Negara maju di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Kemajuan iptek ini mendorong semakin lajunya proses globalisasi. Teknologi komputer misalnya, membanjiri setiap negara, bangsa dan budaya tanpa mengenal batas bangsa, negara dan budaya. Faksimili adalah teknologicetak jarak jauh yang dapat mengirimkan pesan untuk sispapun, di manapun, Negara manapun, dan bangsa apapun, serta bisnis dan institusi apapun. Faksimili adalah teknologi global yang membantu terciptanya globalisasi dalam pengiriman pesan dalam waktu yang cepat dan akurat. Televisi dengan antenna parabola merupakan media global yang mendorong terciptanya globalisasi penyiaran berita, budaya dan sebagainya secara interansional yang tidak mengenal batas ruang dan waktu.

Kenyataan semacam itu akan mempengaruhi nilai, sikap dan tingkah laku kehidupan individu dan masyarakatnya. Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD “Hasil studi yang dilakukan oleh Inkeles dan Smith (1974) dalam Muhaimin (1999) “di enam Negara sedang berkembang (Argentina, Bangladesh, Chili, India, Israel dan Nigeria) serta pernyataan Naissbit dan Aburdene dalam Megatrends 2000, sebagaimana dikemukakan terdahulu menunjukkan bahwa ada beberapa nilai, sikap dan tingkah laku individu dan masyarakat modern yang kongruen (sejalan) dengan ajaran Islam sekaligus tidak mendukung keberhasilan pembangunan. Ada pula nilai dan sikap modernitas yang tidak kongruen (berlawanan) dengan ajaran agama Islam sekaligus tidak mendukung keberhasilan pembangunan. Misalnya: lemahnya keyakinan keagamaan, sikap individualistis, materialistis, hedonistis dan sebagainya. Nilai-nilai dan sikap yang negatif itu akan muncul bersamaan dengan nilai dan sikap positif lainnya, yang sudah barang tentu merupakan ancaman bagi terwujudnya cita-cita pembangunan bangsa. Karena itu masalah yang perlu segera mendapat jawaban, terutama dari guru Pendidikan Agama Islam adalah “mampukah” kegiatan pendidikan agama (Islam) itu berdialog dan berinteraksi dengan perkembangan zaman modern yang ditandai dengan kemajuan iptek dan informasi, dan mampukah mengatasi dampak negatif dari kemajuan tersebut.”14

c. Hambatan Psikologis

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD “ Menurut Arifin (1993) kemajuan iptek yang amat mengandalkan kecerdasan rasio, sampai batas-batas tertentu dapat mengoreksi benteng-benteng nilai agama. Berbagi akibat yang muncul kepermukaan antara lain ialah nilai-nilai kehidupan umat manusia lebih banyak didasarkan pada nilai kegunaan, kelimpahan hidup materialistic, sekularistik, dan hdonistik yang menafikan nilai-nilai etika-religius, moralitas dan humanistis.15

Akibat dari hal tersebut, muncullah berbagai ragam gejala demokrasi, dekadensi, egoisme dan individualisme serta apatisme yang bersumber pada frustasi yang semakin membengkak, juga stress-sosial (ketegangan batin masyarakat) yang semakin menumpuk menumpuk dalam lapisan jiwa bawah sadar yang sewaktu-waktu dapat meletup dan meledak kepermukaan kehidupan masyarakat. Apalagi jika kekuatan atau daya pengendali mental-psikologis mereka tidak dapat bekerja dengan baik dalam setiap kelompok masyarakat itu.

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD “ Arifin mengatakan bahwa bila dilihat dari segi psikologis merupakan akibat terjangkitnya benih-benih penyakit mental yang sangat rentan terhadap timbulnya apa yang disebut teufel-kreis (lingkaran setan) yang sulit untuk di atasi (Arifin, 1993).16 Lingkaran setan inilah yang menjadi sumber pokokdari hambatan dan tantangan pendidikan dan pembelajaran agama kepada masyarakat.

Prinsipnya yang paling fundamental adalah antara kesenjangan hidup berkat dampak kemajuan iptek dengan tuntutan kebutuhan hidup harus dijembatani atau dipersempit rentangnya dengan penanaman nilai-nilai agama yang mendasari kekuatan sikap mental dan moral-spiritual perilaku lahiriah manusia secara individu sebagai anggota masyarakat. Nilai-nilai agama sebagai kekuatan mental dan moral-spiritual pribadi tersebut akan menjadi daya tangkal masyarakat terhadap segenap ronrongan infiltrasi dari dampak negatif kemajuan iptek modern yang semakin canggih.

Itulah sebabnya agama beserta nilai-nilai yang dikandungnya diwahyukan oleh Tuhan kepada Rosul-Nya untuk merubah pandangan dan perilaku hidup manusia yang menyimpang dari garis-garis normatif-religius kepada jalan yang lurus yang diridhoi-Nya. Perubahan dan pandangan perilaku ini menjadi sumber kekuatan mental-spiritual untuk membebaskan diri dari tekanan psikologis sebagai akibat dari perubahan pola hidup masyarakat.

Untuk itu, kehidupan yang paling ideal pada era masyarakat madani sekarang ini dan mungkin yang akan datang adalah apabila kekuatan iman dan taqwa sebagai buah dari pendidikan dan pembelajaran agama mampu menjadi pengendali, penyeleksi dan penyaring segala unsure kemajuan iptek yang secara intrinsic bersifat merusak mental dan moral-spiritual masyarakat. Dengan kehidupan yang demikian, induvidu dan masyarakat akan menemukan kehidupan yang sebenarnya atau kehidupan sejati yang selalu disinari oleh Nur Illahi.



d. Hambatan Sosial-Politik

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD “ Arifin mengatakan bahwa Dalam proses perubahan social-politik di Negara kita ini dapat kita lihat peristiwa-peristiwa yang anti social, sadisme, anarkhisme dan tindakan lain yang tidak berperikemanusiaan yang sama sekali bertentangan dan tidak mencerminkan nilai-nilai agama. Sasaran utama dari proses letupan perasaan frustasi yang telah mencapai tingkat “tinggi” ini adalah kelompok-kelompok kekuatan yang bertanggung jawab atas ketertindasan harkat dan martabat hidup mereka yaitu perangkat pengausa pemerintahan mereka sendiri, dimana kelompok yang membantu kekuatan tirani komunitas mereka menjadi sasaran (Arifin, 1993).17

Terhadap munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang berekonomi kuat, penyakit mental yang berupa stres dan frustasi social itu menimbulkan sikap negative masyarakat yang lemah ekonominya, yaitu berupa kecemburuan sosial pada tahap awal perkembangannya, dan akan berlanjut kepada tahap ledakan sosial-politik yang tidak terkendali oleh kekuatan moral dan etik sebagai titik klimaksnya. Peristiwa tragis semacam ini akan dapat diredam, apabila sistem social-politik dalam masyarakat dapat direlisasikan dengan sebaik-baiknya berdasarkan keadilan sosial yang memberikan kesejahteraan dan kemakmuran merata dalam segenap lapisan masyarakat.

Kondisi tersebut, apabila dicermati secara seksama dapat mengakibatkan pendidikan dan pembelajaran agama tidak bisa berjalan secara optimal. Hal ini disebabkan perbedaan kepentingan social-politik individu atau kelompok, yang kepentingan itu dapat mengalahkan kepentingan yang lebih besar dalam menciptakan kehidupan yang damai dan aman, sehingga nilai-nilai agama terabaikan. Sebab lainnya adalah beragamnya etnis, rasial, dan keagamaan yang berakibat tidak dapat ditemukan dan dikembangngkan nilai-nilai agama yang universal, yang merupakan nilai bersama, kendati perbedaan latar belakang keagamaan atau perbedaan adapt-istiadat karena latar belakang rasial atau etnis. Ini bukan masalah yang mudah. Tetapi, pendidikan agama merupakan proses belajar terus menerus bagi semua orang dan semua golongan.

Pemikiran tersebut menunjukkan bahwa, perubahan kondisi social-politik yang dipicu oleh perkembanganilmu dan teknologi yang pesat, membawa serta perubahan dalam cara berfikir, cara menilai, cara menghargai hidup dan kenyataan. Ini semua membawa kekaburan nilai-nilai agama yang ada dan kekaburan dimensi nilai yang sebenarnya selalu ada dalam proses perkembangan dan perubahan masyarakat, serta dalam pribadi individu. Oleh karena itu, semua pihak yang terlibat dalam pendidikan, khususnya guru, bertanggungjawab untuk:

1). Melihat implikasi nilai-nilai agama dalam setiap proses perubahan terjadi.

2). Membantu untuk berkembangnya nilai-nilai agama dalam diri individu siswa.

3). Membantu agar siswa dapat mengambil sikap dan keputusan dalam merencanakan kehidupan secara bermakna.

Apabila semua pihak yang terlibat dalam pendidikan, khususnya pendidikan agama dapat melaksanakan ketiga tahapan tersebut, maka tidak mustahil akan memberikan hasil yang optimal. Tetapi sebaliknya, apabila tidak melaksanakannya, maka pendidikan agama tidak mustahil akan terhambat oleh euforia persoalan social-politik yang pada akhirnya dapat berakibat runtuhnya martabat bangsa.

  1. Hambatan Kultural

Akibat kemajuan bidang teknologi informasi, elektronika dan komunikasi, berbagai permasalahan di dunia ini menjadi meng-global. Globalisasi menjadikan bumi makin menyempit. Berbagai masalah local mampu membawa dampak men-dunia. Norma dan etika dunia makin cepat menyebar, sehingga terjadi akulturasi nilai. Akulturasi nilai mengakibatkan hilangnya identitas nilai-nilai universal, sehingga nilai yang menjadi acuan semakin kabur sumbernya.

Sebagaimana telah di kutip dalam bukunya Darmiyati Zuchdi, yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD “ Di samping, itu menurut Mudhzar (1992) globalisasi juga mengakibatkan berkembangnya mass culture, karena pengaruh mass media, sehingga kultue tidak lagi bersifat local, melainkan nasional, bahkan global. Ini akan berakibat meningkatnya heterogenitas nilai dalam masyarakat, sehingga nilai agama yang diyakini seseorang tidak lagi mampu mengklaim sebagi sumber kebenaran tunggal pada diri individu18. Selain nilai-nilai agama yang dipelukkya, individumerasa perlu melengkapi dirinya dengan nilai-nilai lain yang datang dari sekitarnya, baik dari kesepakatan politik, ekonomi, maupun budaya. Kehadiran sejumlah nilai dari sumber yang berbeda secara bersandingan ini akan menimbulkan beberapa persoalan, terutama dalam memilih nilai-nilai tersebut. Apakah nilai-nilai agama yang harus dimenangkan dan nilai-nilai yang lain dikesampingkan? Kondisi demikian sering menjadi persoalan yang serius.

Realitas ini sangat tidak menguntungkan dalam pendidikan agama. Karena nilai-nilai agama yang bersifat universal yang seharusnya menjadi prioritas untuk pedoman bertindak, kadang disandingkan dengan nilai-nilai lain yang bersifat local. Hal ini disebabkan orang tidak lagi melacak dari mana sumber nilai itu, tetapai yang penting adalah lebih cocok dan menguntungkan bagi dirinya, sehiingga tidak ada upaya pemilihan nilai.

Pemilihan nilai berarti menentukan suatu nilai sesudah mempertimbangkan semua akibat-akibat dari setiap alternative yang ada. Individu yang tidak mengetahui akibat suatu alternative, berarti pula tidak mengetahui akibat yang akan terjadi nantinya, dan dia tidak akan bebasmenerima akibatnya. Misalnya, seseorang menggunakan narkoba, yang katanya bagi mereka yang memakai dapat menghilangkan stres dan seakan melayang ke “surga”, ternyata resikonya secara moral dan material sangat tinggi, berupa pemborosan uang dan sakit fisik secara mental. Apabila dia berpegang pada nilai-nilai agama, yang jelas-jelas melarangnya, maka dia akan selamat dari bahaya itu.

Kerap kali memang akibat pilihan seorang individu tidak dapat diketahui sebelumnya, tetapi bukan berarti bahwa tidak ada pilihan bebas. Begitu orang memahami akibat-akibatnya, dia harus mengevaluasi kembali berdasarkan kerangka normatif agama. Namun kadang-kadang seseorang sadar bahwa itu perbuatan salah, tetapi tetap saja dia lakukan tanpa harus mengevaluasi bahwa perbuatan itu salah berdasarkan nilai-nilai agama. Akibatnya, setelah kesalahannya menumpuk dan resikonya semakin parah, dia baru sadar bahwa perbuatan itu salah.

Untuk itu sesuatu yang harus dilakukan adalah dengan menanamkan nilai-nilai agama secara mantap kepada siswa atau individu, agar dia terhindar dari berbagai godaan dan gangguan cultural yang tidak menguntungkan, dilihat dari aspek moral dan spiritual. Penanaman itu harus dapat mem-pribadi kepada siswa, artinya dia betul-betul “memikirkan tentang suatu nilai-nilai agama, tidak sekedar menanggapi suatu nilai-nilai agama”. Sebab diantara dua term ini mempunyai makna yang berbeda. Memikirkan suatu nilai agama berarti individu sudah mulai memikirkan untuk membentuk atau menyiapkan suatu nilai untuk dilaksanakan, sedang menanggapi suatu nilai-nilai agama hanyalah “menanggapi” kalau suatu nilai dibicarakan orang, atau terdapat dalam satu karang, atau dengan kat lain, nilai-nilai agama hanya sekedar sebagai wacana. Dalam hal ini individu yang hanya menyatakan persetujuannya pada sesuatu yang sudah ditulis, diucapkan orang, sebenarnya memang sudah menuju ke arah pembetukan nilai, tetapi masih pada ambang pintu yang jauh sekali untuk mewujudkan nilai itu sendiri.

Pendidikan agam,a pada dasarnya bukan merupakan sesuatu yang harus diwacanakan, tetapi lebih merupakan sesuatu yang normatif-dogmatif-pragmatis, sehingga secara given harus dilaksanakan. Untuk itu, nilai-nilai agama memang sudah seharusnya diterapkan dalam realitas sosial, tidak harus terhambat oleh berbagai tantangan dan hambatan kultural yang menghinggapi kehidupan kita.19

  1. Cara atau Kiat untuk mengembangkan Minat Belajar Agama Islam Anak

Adapun beberapa upaya Meningkatkan minat belajar diantaranya adalah sebagai berikut:

          1. Optimalisasi Penerapan Prinsip Belajar

Upaya pembelajaran terkait dengan beberapa prinsip belajar :

  1. Belajar menjadi bermakna bila siswa memahami tujuan belajar. Oleh karena itu guru perlu menjelaskan tujuan belajar secara hierarkis.

  2. Belajar menjadi bermakna bila siswa dihadapkan pada pemecahan masalah yang menantangnya. Oleh karena itu peletakan urutan masalah yang menantang harus disusun guru dengan baik.

  3. Belajar menjadi bermakna bila guru mampu memusatkan segala kemampuan mental siswa dalam program kegiatan tertentu.

  4. Sesuai dengan perkambangan jiwa siswa, maka kebutuhan bahan-bahan belajar siswa semakin bertambah.

  5. Belajar menjadi menantang bila siswa memahami prinsip penilaian dan faedah nilai belajarnya bagi kehidupan dikemudian hari.

    1. Optimalisasi Unsur Dinamis Belajar dan Pembelajaran

  1. Pemberian kesempatan pada siswa untuk mengungkap hambatan belajar yang dialaminya.

  2. Memelihara minat, kemauan, dan semangat belajarnya sehingga terwujud tindak belajar.

  3. Meminta kesempatan pada orang tua siswa atau wali, agar memberi kesempatan pada siswa untuk beraktualisasi diri dalam belajar.

  4. Memanfaatkan unsur-unsur lingkungan yang mendorong belajar.

  5. Menggunakan waktu secara tertib, penguat dan suasana gembira terpusat pada perilaku belajar.

  6. Guru merangsang siswa dengan penguatan pembari rasa percaya diri bahwa ia dapat mengatasi segala hambatan dan pasti berhasil.

  7. Optimalisasi Pemanfaatan Pengalaman dan Kemampuan Siswa

  8. Siswa ditugasi membaca bahan belajar sebelumnya, tiap membaca bahan belajar siswa mencatat hal-hal yang sukar dan diserahkan pada guru.

  9. Guru mempelajari hal-hal yang sukar bagi siswa.

  10. Guru memecahkan hal-hal yang sukar, dengan mencari cara memcahkan.

  11. Guru mengajarkan cara memecahkan dan mendidikkan keberanian mengatasi kesukaran.

  12. Guru mengajak serta siswa mengalami dan mengatasi kesukaran.

  13. Guru memberi kesempatan kepada siswa yang mampu memecahkan masalah untuk membantu rekan-rekannya yang mengalami kesukaran.

  14. Guru memberi penguatan para siswa yang berhasil mengatasi kesukaran belajarnya sendiri.

  15. Guru menghargai pengalaman dan kemampuan siswa agar belajar secara mandiri.

    1. Pengembangan Cita-cita dan aspirasi Belajar

  1. Guru menciptakan suasana belajar yang menggembirakan.

  2. Guru mengikutsertakan semua siswa untuk memelihara fasilitas belajar.

  3. Guru mengajak siswa untuk membuat perlombaan untuk belajar.

  4. Guru mengajak serta orang tua siswa untuk memperlengkap fasilitas belajar.

  5. Guru memberanikan siswa untuk mencatat keinginan-kainginan siswa yang tercapai dan tidak tercapai.

  6. Guru bekerja sama dengan pendidik lain, untuk mendidikkan dan mengembangkan cita-cita belajar sepanjang hayat.20








1 Djoko Witarko,Seri Panduan Rumah Belajar 1,Coca Cola Foundation Indonesia,Jakarta,2006,Hal.xi.

2putrabungsu-yahoo.blogspot.com/.../minat-siswa-belajar-pendidikan-agama_24.html - Tembolok - Mirip (Di kutip tanggal 26 Juli 2009)


3 http://www.sdm4sby.com/index.php

4 Ibid, hal. 41.

5 Joko Witarko,Loc Cit,.hal.55.

6 Drs.H. Nashar, M. Ag.,Loc.Cit,.hal.50.

7 Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM.,Manajeman Pembelajaran,Sukses Offset,Yogjakarta,2007,hal.35.

8 Drs.H. Mgs.Nazarudin,MM,Ibid.,Hal.35.

9 Ibid.,Hal.36.

10 Ibid.,Hal.37.


11 http://www.luwzee.blog.friendster.com/.../tinjauan-tentang-minat-belajar-anak/

12 Drs. H. Mgs. Nazarudin, M.M., Op. Cit..,Hal.17.


13 Darmiyati Zuchdi, yang berjudul ,Pedoman Penyelenggaraan Tingkat SD,Bumi Aksara,Jakarta,2009,hal.49

14 Darmiyati Zuchdi,Ibid.,hal.53.

15 Ibid,hal.57.

16 Ibid,hal.60.

17 Ibid,hal.65.

18 Ibid,hal.67.

19 Ibid,hal.67.

20 Abdul Rahman Shaleh,Psikologi Suatu Pengantar Dalam Perspektif Islam,Prenada Media,Jakarta,2004,hal.128.

0 komentar:

Posting Komentar